Pages

Monday, 3 June 2013

Tidak perlu takutkan larutnya malam

Bulan Mei dan Juni ini merupakan masa-masa puncak ketegangan dan sangat menentukan dalam perjalanan hidup saya di Jepang.  Untuk orang nekat seperti saya yang prestasi akademiknya biasa saja serta minim kemampuan bahasa Inggris, apalagi bahasa Jepang, memutuskan untuk melanjutkan S2 di jepang benar-benar butuh keberanian ekstra.  Sejak datang ke sini, saya sama sekali tidak punya beasiswa.  Tujuan awal saya adalah menjadi research student, itupun alasan terbesarnya adalah untuk membawa anak-anak lebih dekat dengan ibunya istri yang sedang S2.

Ketika mendaftar S2, sama sekali tidak ada bekal beasiswa.  Dukungan atasan, dosen pembimbing, dan tentu saja keluarga lah yang membuat saya memberanikan diri mencebur ke dunia yang terasa asing ini.  Semester pertama dilalui hanya dengan beasiswa SPP.  Tapi itu menyelematkan saya, karena untuk mendapatkan ijin sekolah harus mempunyai beasiswa apapun.  Tapi, tentu saja itu tidak cukup, karena beredar informasi bahwa potongan SPP untuk mahasiswa asing akan semakin dibatasi.  Dan benar saja, hanya 50% potongan SPP yang saya terima.

Bagaimana dengan pengajuan beasiswa? Inilah masalahnya.  Ternyata sangat sulit untuk orang yang pasangannya sudah menerima beasiswa dari pemerintah Jepang (monbukagakusho) untuk mengajukan beasiswa lainnya.  Informasi ini tidak saya terima dengan akurat sebelumnya.  Jadilah saya diminta menunggu hingga istri saya selesai.  Lha, selama menunggu ini, bagaimana caranya saya hidup disini yang biayanya amat sangat tinggi sekali?  Setelah itu pun, berbagai macam beasiswa yang saya ajukan tidak pernah diterima.  Ada saja alasannya, ketidakmampuan bahasa Jepang, kurangnya prestasi akademik selama S1, tidak ada kerjasama dengan instansi asal, dll.

Tidak mudah melukiskan kembali apa yang saya alami saat itu.  Berbagai pengalaman hidup dan kejadian-kejadian tidak terduga datang silih berganti.  Hingga bulan April lalu ada satu beasiswa lagi yang coba diajukan.  Ini adalah kesempatan terkahir, pengalaman tahun lalu informasi beasiswa baru ada lagi di bulan November, itupun untuk penerimaan April 2014. Padahal program S2 saya selesai Maret.  Pengumunan beasiswa disebutkan sekitar Juni.  Itulah mengapa saya sebutkan bulan ini merupakan saat-saat yang sangat menegangkan.

Istri saya selalu menghibur, Allah tidak akan memberikan cobaan lebih dari kemampuan hamba-Nya. Kalau pun beasiswa ini tidak diterima, akan ada rejeki lainnya.  Boleh saja saya terlihat tegar didepan istri dan anak-anak, tetapi tidak di hadapan-Nya.  Sampai akhirnya saya mendapat telp dari International Student Center, yang mengabarkan saya mendapat beasiswa Hashiya, peluang terakhir beasiswa saya.  Beasiswa yang hanya ditujukan untuk mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jepang. Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar.

Tidak perlu takut dengan malam yang semakin larut, karena itulah tanda alami akan tibanya sinar mentari.  Pun hilangkan resah dan gelisah, karena itulah saat terbaik doa diijabah.  Bersama kesulitan akan dijelang kemudahan. Dan sungguh bersama kesulitan akan dijelang kemudahan.  Karena itulah janji Sang Maha, dalam kitab suci-Nya.