Bulan Mei dan Juni ini merupakan masa-masa puncak ketegangan dan sangat
menentukan dalam perjalanan hidup saya di Jepang. Untuk orang nekat seperti saya yang prestasi akademiknya biasa saja serta minim kemampuan bahasa Inggris, apalagi bahasa
Jepang, memutuskan untuk melanjutkan S2 di jepang benar-benar butuh keberanian
ekstra. Sejak datang ke sini, saya sama
sekali tidak punya beasiswa. Tujuan awal
saya adalah menjadi research student,
itupun alasan terbesarnya adalah untuk membawa anak-anak lebih dekat dengan
ibunya istri yang sedang S2.
Ketika mendaftar S2, sama sekali tidak ada bekal
beasiswa. Dukungan atasan, dosen
pembimbing, dan tentu saja keluarga lah yang membuat saya memberanikan diri
mencebur ke dunia yang terasa asing ini.
Semester pertama dilalui hanya dengan beasiswa SPP. Tapi itu menyelematkan saya, karena untuk
mendapatkan ijin sekolah harus mempunyai beasiswa apapun. Tapi, tentu saja itu tidak cukup, karena
beredar informasi bahwa potongan SPP untuk mahasiswa asing akan semakin dibatasi. Dan benar saja, hanya 50% potongan SPP yang
saya terima.
Bagaimana dengan pengajuan beasiswa? Inilah masalahnya. Ternyata sangat sulit untuk orang yang
pasangannya sudah menerima beasiswa dari pemerintah Jepang (monbukagakusho)
untuk mengajukan beasiswa lainnya. Informasi
ini tidak saya terima dengan akurat sebelumnya.
Jadilah saya diminta menunggu hingga istri saya selesai. Lha, selama menunggu ini, bagaimana caranya
saya hidup disini yang biayanya amat sangat tinggi sekali? Setelah itu pun, berbagai macam beasiswa yang
saya ajukan tidak pernah diterima. Ada
saja alasannya, ketidakmampuan bahasa Jepang, kurangnya prestasi akademik
selama S1, tidak ada kerjasama dengan instansi asal, dll.
Tidak mudah melukiskan kembali apa yang saya alami saat itu. Berbagai pengalaman hidup dan
kejadian-kejadian tidak terduga datang silih berganti. Hingga bulan April lalu ada satu beasiswa
lagi yang coba diajukan. Ini adalah
kesempatan terkahir, pengalaman tahun lalu informasi beasiswa baru ada lagi di
bulan November, itupun untuk penerimaan April 2014. Padahal program S2 saya selesai
Maret. Pengumunan beasiswa disebutkan
sekitar Juni. Itulah mengapa saya
sebutkan bulan ini merupakan saat-saat yang sangat menegangkan.
Istri saya selalu menghibur, Allah tidak akan memberikan
cobaan lebih dari kemampuan hamba-Nya. Kalau pun beasiswa ini tidak diterima, akan
ada rejeki lainnya. Boleh saja saya terlihat
tegar didepan istri dan anak-anak, tetapi tidak di hadapan-Nya. Sampai akhirnya saya mendapat telp dari
International Student Center, yang mengabarkan saya mendapat beasiswa Hashiya, peluang
terakhir beasiswa saya. Beasiswa yang
hanya ditujukan untuk mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jepang. Subhanallah, Alhamdulillah,
Allahu Akbar.