Ada kebiasaan di lab yang hampir tiap hari dilakukan bersama, yaitu makan siang bersama dan nge-teh bareng di sekitar jam 3-4 siang. Selalu ada saja yang dibicarakan, mulai dari yang serius sampai yang cuma buat guyonan. Karena kemampuan bahasa Jepang yang sangat-sangat mepet, kalau ada yang ingin diceritakan atau minta pendapat saya mereka harus menjelaskan pelan-pelan, mirip ngobrol dengan anak-anak.
Kemarin ada satu topik menarik yang dibicarakan yaitu tentang trend dan dilema wanita Jepang antara memilih karir atau berumah tangga. Jadi ingat beberapa waktu lalu detik.com menurunkan berita tentang menurunnya angka lahir bayi dan merebaknya sindrom bujangan di Jepang. Saat ini saya mendengar langsung dari teman-teman mahasiswa Jepang yang belum menikah dan sensei saya (seorang Associate Professor wanita) yang telah menikah dan mempunyai satu anak berusia 5 tahun.
Ada kesamaan dengan berita yang ditulis detik.com bahwa telah ada upaya dari pemerintah Jepang untuk mengurangi sindrom bujangan dan meningkat angka kelahiran anak, karena kekuatiran menurunnya populasi penduduk. Pemerintah memberikan subsidi kepada keluarga yang melahirkan berupa pemberian bantuan persalinan yang besarnya 420,000 yen (Rp 42 juta kalau 1 yen = Rp 100,-). Begitu anak itu lahir, setiap bulan akan mendapat 'uang saku' antara 10,000-15,000 yen tergantung jumlah anak. Ketiadaan pembantu rumah tangga diatasi pemerintah dengan mendirikan day care dengan menyediakan subsidi bagi yang tidak mampu. Belum lagi fasilitas lainnya seperti kesehatan dan jaminan pendidikan hingga setingkat SMP. Luar biasanya, pemberian fasilitas ini tidak membedakan apakah dia orang asing atau orang Jepang.
Apakah ini cukup efektif? Mungkin ini hanya efektif untuk mahasiswa asing seperti saya he he he. Karena dengan kelahiran anak ketiga bulan Desember berarti bertambah subsidi untuk keluarga saya. Sampai-sampai di kalangan mahasiswa asing disini ada ungkapan, banyak anak banyak subsidi. Tetapi untuk keseluruhan penduduk Jepang, menurut salah seorang Professor yang lain sepertinya belum berhasil. Parameternya adalah jumlah anak SD saat ini jauh lebih sedikit dibandingkan jaman dia sekolah. Apalagi ada media yang pernah menulis bahwa tahun 2012 penjualan popok dewasa lebih besar daripada popok bayi.
Hal yang tidak ditulis oleh detik.com adalah ternyata meskipun pemerintah Jepang mendorong peningkatan angka kelahiran, faktanya mereka juga mendorong para wanita untuk terus bekerja meningkatkan karirnya. Sensei saya bercerita bahwa sulit sekali baginya untuk mengajukan cuti melahirkan, dengan adanya tuntutan untuk segera menjadi Professor penuh. Bila dia cuti, tidak ada yang bisa menggantikan karena masing-masing Professor memiliki bidang keahlian yang berbeda. Entah dengan alasan apa, dua orang sensei perempuan lain di fakultas ini malah belum menikah.
Beberapa teman satu lab yang perempuan juga mengatakan tidak ingin terburu-buru menikah, bahkan ada yang belum terlintas sedikit pun tentang pernikahan atau keluarga. Ada kecenderungan kalau yang cepat menikah itu yang pendidikannya rendah dan pergaulannya kurang, sedangkan wanita pintar dan aktif akan lebih memilih menunda. Begitu kata mereka. Bahkan ada yang mengatakan bahwa menikah, punya anak dan suami/istri merupakan gangguan dalam menikmati masa muda yang indah, yang penuh kebebasan.
Begitulah salah satu problem sosial, diantara berbagai problem lain, yang mungkin tidak hanya terjadi di Jepang tapi juga di negara maju lainnya. Mereka bisa saja dikagumi karena maju secara teknologi, tetapi sesungguhnya mengalami kekosongan hati. Berbagai persoalan hidup siap menanti ketika tidak ada aturan Ilahi yang ditaati. Sungguh beruntung kita yang masih memiliki keimanan di hati, segalanya dilakukan hanya untuk mengabdi kepada Zat Yang Maha Pemberi.
mantap banget.. arigatou..telah berbagi pengalaman.
ReplyDeletesama-sama...terima kasih juga sudah berkunjung
Delete