Benarkah Cinta itu buta? Kisah mantan Perdana Menteri Yunani yang sudah menikahi istrinya selama 43 tahun, kemudian menceraikannya demi dapat menikahi seorang mantan pramugari pesawat kepresidenan berusia 33 tahun; atau ada pemuda gagah yang menikahi nenek-nenek renta berusia 80 tahun demi mendapatkan sesuatu, mungkin bisa mewakili pernyataan bahwa benar love is blind. Atau ada seorang kakak yang saking cintanya kepada adik kandungnya, malah bermaksud menikahinya!
Tapi, bagaimana dengan cintanya seorang Ibu yang bersedia mempertaruhkan jiwanya demi kelahiran anak yang dikandungnya? Bagaimana dengan para sahabat Rasul SAW yang rela menjadi tameng hidup Rasullullah ketika perang Uhud, hingga banyak diantara mereka yang syahid? Atau apa kesimpulan kita ketika mendengar cerita bahwa Nabi Ibrahim tega menyembelih putranya, yang telah dinantikan kelahirannya selama bertahun-tahun? Apakah ini sama dengan cintanya mantan Perdana Menteri Yunani atau pemuda gagah di atas? Atau sama dengan cintanya seorang remaja kepada lawan jenisnya, dalam wujud pacaran, yang belum diikat tali perkawinan?
Sebelum menjawabnya, marilah kita lihat apa sebenarnya arti kata Cinta. Berdasarkan KBBI dan realitas yang ada, Cinta merupakan kecenderungan dan rasa, baik rasa suka, sayang, terpikat, ingin, ridu, pengharapan, sedih, dan ingat, dari pecinta kepada yang dicintai. Cinta memang tidak dapat dilihat, hanya tanda-tanda dan penampakannyalah yang dapat disaksikan.
Lalu bagaimana Cinta yang benar? Secara umum, Cinta yang benar adalah cinta yang diberikan oleh yang mencintai kepada yang dibenarkan untuk dicintai dengan cara yang juga benar, baik internal dalam jiwanya maupun penampakkannya. Salah satu saja ada komponen yang tidak benar, maka cinta pun menjadi tidak benar. Kemudian muncul lagi pertanyaan, bagaimana kemudian tolak ukur cinta yang benar?
Bila melihat beberapa kasus di atas, setiap pelakunya (pecinta) pasti akan merasa melakukan sesuatu yang benar. Kita harus hati-hati. Sering seseorang terjebak pada khayalannya sendiri. Ia mencintai sesuatu, berjuang untuknya tetapi sebenarnya apa yang ia cintai itu adalah suatu keburukan yang dianggapnya kebenaran. Mengapa demikian? Karena manusia sering menggunakan logikanya atau bahkan nafsunya masing-masing.
Sekarang marilah kita renungi Firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah:216 ini:
“Diwajibkan atas kalian berperang sedangkan berperang itu adalah sesuatu yang kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal itu amat baik bagi kalian; boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui”.
Jelaslah sudah bagi kita, logika manusia sama sekali tidak dapat dijadikan tolak ukur kebenaran. Baik itu logika yang dibangun secara individual, maupun dengan suara mayoritas. Contohnya, bila misalnya suara mayoritas menyetujui pergaulan bebas lalu dilaksanakan dan dibiarkan oleh negara, hukum pergaulan bebas tetaplah haram meskipun itu dilakukan oleh mayoritas orang disuatu negara karena Allah SWT sudah tegas mengharamkannya. Oleh karena itu, tolak ukur kebenaran bukanlah logika, hawa nafsu, baik individu maupun kolektif berdasarkan suara mayoritas. Tolak ukur kebenaran adalah hukum syariat. Karenanya segala bentuk cinta yang dibenarkan oleh syariat adalah benar dan sebaliknya, semua cinta yang dilarang oleh syariat adalah cinta yang terlarang.
Sebagai seorang manusia, selain mempunyai kebutuhan fisik (makan, minum, bernafas, dsb), kita juga mempunyai naluri (gharizah) yang salah satunya adanya keinginan untuk mencintai. Mencintai orangtua, istri/suami, anak, keluarga, bukan hanya boleh tetapi diperintahkan, sebagaimana firman Allah dalam surat An Nisa: 36
“Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang ibu-bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya kalian. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri."
Kita juga boleh mencintai harta, kendaraan, perniagaan, rumah tinggal dan kesenangan hidup, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran: 14
”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak, dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”
Tetapi harus diingat bahwa kecintaan kepada hal-hal diatas ada syaratnya yaitu harus berlandaskan cinta kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan Allah SWT, sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah: 9
”Katakanlah, ’Jika bapak-bapak kalian, anak-anak kalian, saudara-saudara kalian, istri-istri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kailan kuatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya’. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik."
Jelaslah bahwa kecintaan kepada Allah SWT hukumnya wajib, tanpa syarat dan diatas segala-galanya. Pernyataan tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya menunjukkan hal tersebut. Demikian pula, segala hal yang diharamkan oleh Allah untuk dicintai, maka mencintainya adalah haram.
Cinta kepada suami/istri dengan sekedar memenuhi kebutuhan materialnya saja hanyalah merupakan cinta semu. Cinta hakiki akan terjadi bila kecintaan itu dilandasi pada hukum Allah dan ditujukan untuk sama-sama mendapatkan keridhaan-Nya serta masuk surga bersama-sama, istri dijadikan ladang ketaatan suami terhadap Allah SWT, begitu pula sebaliknya. Cinta yang diberikan kepada anak, apabila hanya sebatas disekolahkan, dikursuskan, dan berhasil mencapai gelar sarjana hanyalah cinta semu. Cinta ini akan berubah menjadi cinta sejati apabila pendidikan anak diarahkan hingga ia menjadi anak shalih yang taat kepada Allah SWT, mencintai-Nya, peduli kepada umatnya serta menjadi bagian dari barisan orang-orang yang senantiasa membela dan menyebarkan kebenaran Islam. Anak seperti ini akan menjadi hiasan, bukan malapetaka/fitnah.
Cinta kepada orangtua kita tunjukkan dengan selalu menyenangkan hati mereka, membantu keperluan mereka, senantiasa mendengarkan nasihat mereka dan menuruti peintah mereka. Cinta kepada anak dan istri akan kita tunjukkan dengan berupaya secara tulus melayani mereka, memnuhi kebutuhan mereka, mengarahkan mereka dan berupaya menunaikan apa yang mereka minta.
Namun, cinta kepada Allah tidak dapat disamakan cinta kepada makhluk-Nya. Cinta kepada Allah tidak ditampakkan dengan melayani-Nya, membalas segala pemberian-Nya, atau membantu-Nya, karena Allah Mahasuci dari yang demikian. Allah tidak memerlukan balasan ataupun pelayanan. Wujud kecintaan kita kepada Allah adalah menuruti tuntutan-Nya, mengikuti perintah-Nya dan menunaikan seruan-Nya. Ini berarti juga menaati Rasulullah SAW. Hakikat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah taat kepada keduanya. Hal ini digambarkan dalam surat Ali Imran: 31
”Katakanlah, ’Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutlah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian. ”Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. Katakanlah, ’Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.
Dengan demikian kita bisa melihat bagaimana penampakan cinta yang ditunjukkan oleh Mantan Perdana Menteri Yunani pada kisah di awal tulisan ini, atau seorang kakak yang ingin menikahi adiknya, atau seorang remaja yang melakukan aktivitas pacaran untuk menunjukkan kecintaan kepada lawan jenisnya; sebagai wujud kecintaan yang palsu. Sebaliknya kecintaan para sahabat untuk menjaga Rasul, atau kecintaan Nabi Ibrahim untuk mengutamakan perintah Allah sehingga rela mengorbankan buah hati tercintanya, atau seorang Ibu yang ikhlas karena Allah mempertaruhkan jiwanya karena berharap kelahiran anaknya untuk kemudian mendidiknya menjadi anak shaleh/shalehah; merupakan cinta hakiki karena dilandasi oleh cinta kepada Allah SWT.
Bila menganalisa status facebook sebagaimana tulisan di awal, maka hidup yang senantiasa dipenuhi dengan cinta palsu akan menghasilkan kebahagiaan yang semu dan akan membuat kita takut akan kematian dan kesunyian. Tetapi bila hidup dipenuhi dengan kecintaan kepada Allah, Rasul dan dari berjihad dijalan-Nya, kebahagiaan pasti akan kita dapatkan dan tidak ada rasa takut akan kematian dan kesunyian.
Wallahu alam bi ash shawab.
No comments:
Post a Comment