Pages

Monday, 21 April 2014

Sekolah ke luar negeri (2)

Ini merupakan lanjutan tulisan sebelumnya disini.  Ada buku bisnis yang bagus berjudul “The Power of Kepepet” karya seorang pengusaha muda yang sukses bernama Jaya Setiabudi.  Sesuai judulnya, buku itu memberikan banyak tips dan kisah sukses dari penulis dan orang lain yang bangkit dari keterpurukan bisnisnya dengan melakukan hal-hal yang tidak terduga dan cenderung nekat.  Pesannya, kebanyakan orang cenderung lebih keras berusaha dan mengeluarkan kemampuan terbaik hingga titik tertinggi ketika sedang kepepet (terdesak).  Itulah yang juga terjadi dengan saya.

Di atas kertas, tanpa kemampuan akademik dan finansial memadai sulit bertahan hidup di negeri orang untuk sekolah.  Bila tidak punya kekuatan finansial, kemampuan akademik dan bahasa diperlukan untuk mencari beasiswa.  Tapi kalau keduanya tidak punya? Setidaknya saya masih bisa berdoa…dan tanpa sadar menjalani teori the power of kekepet.

Ada beberapa langkah yang saya lakukan.  Pertama, meminimkan pengeluaran.  Biaya hidup seperti makan, bayar sewa rumah, listrik, air dan gas itu lumayan besar.  Jadi semua komponen tersebut harus di hemat.  Alhamdulillah, meskipun hidup hemat selama tiga tahun di Jepang saya tidak pernah ke rumah sakit untuk  berobat.  Bahkan disaat banyak orang harus menggunakan masker dan tidak bisa beraktifitas ketika masuk musim dingin karena terserang flu atau demam, saya tetap dalam keadaan bugar. 

Ketika Prof saya bertanya apa rahasianya, saya jawab, banyak minum air putih, makan jeruk dan puasa.  Sejak lama saya terbiasa mengkonsumsi air minum minimal 2 liter sehari yang dimulai sejak bangun tidur, jeruk yang banyak mengandung vitamin C diperlukan untuk memperkuat pertahanan tubuh sedangkan manfaat puasa untuk kesehatan? Sudah banyak yang mengulas.  Kebiasaan itu tidak perlu biaya besar.  Puasa jelas mengurangi makan, air minum mudah diperoleh secara gratis (bisa baca di link ini), harga jeruk di musim dingin juga lebih murah dibanding musim lainnya.  Kata Prof saya, dari ketiga tips itu hanya makan jeruk yang bisa dilakukan. Puasa jelas tidak mungkin, minum air putih juga susah karena orang Jepang terbiasa minum teh dan kopi.

Langkah berikutnya adalah mencari beasiswa untuk biaya hidup maupun bayar SPP yang jumlahnya hamper Rp 30 juta per semester.  Saya baru tahu kalau ternyata tersedia banyak sekali beasiswa.  Rajin-rajin saja berkunjung ke international student center baik secara langsung maupun ke websitenya.  Dan yang saya lakukan tidak hanya website di universitas Nagasaki, tapi juga universitas lain di Jepang dan websitenya JASSO.  Kebiasaan ini sangat berguna untuk mendapatkan informasi peluang besiswa yang informasinya tidak sampai ke Nagasaki.  Dengan akses internet yang mudah, informasi bisa didapatkan dari berbagai sumber.  Luangkan waktu menjelajah di internet.

Tetapi, hal yang saya kuatirkan terjadi.  Tidak ada satupun beasiswa yang saya ajukan diterima. Gagalnya bisa di tahap wawancara yang harus menggunakan bahasa Jepang, ataupun langsung tidak lolos di tahap seleksi administrasi.  Situasi makin runyam tatkala ada informasi bahwa universitas akan mengurangi bantuan SPP bagi mahasiswa asing.  Di tengah kondisi yang galau, saya nekat tanya-tanya mulai ke Prof saya hingga ke pejabat-pejabat di  fakultas.  Tetapi saya mendapat jawaban tidak memuaskan dan kurang membantu mencari solusi untuk mendapatkan beasiswa.  Di kemudian hari saya baru menyadari bahwa untuk mendapatkan beasiswa, faktor penting di awal adalah kekuatan lobi dari Prof.  Bila Prof kita cukup senior dan mempunyai pengaruh di unversitas, peluang lolos dan mendapatkan beasiswa cukup besar meskipun kita tidak punya kemampuan bahasa Jepang. Sayangnya, saya mempunyai Prof yang masih muda dan tidak punya pengaruh bahkan di level fakultas!!!

Ada saran dari mahasiswa asing lain yang senasib.  Cari part time job!!! Dalam kondisi normal, sepertinya itu pekerjaan sia-sia.  Kenapa? Karena dibutuhkan kemampuan bahasa Jepang (ya iyalah, namanya juga kerja kan harus ngomong…).  Tapi tetap saja saya melakukannya.  Saya mencari informasi dari berbagai sumber, mulai koneksi teman-teman Indonesia, mahasiswa asing khususnya dari China, dari majalah (yang ini minta tolong bacain sama orang Jepang) hingga mendatangi part time job center milik pemerintah dan swasta.  Dapat kerjanya? Tidak. Alasan utamanya, kemampuan bahasa Jepangnya kurang memadai.  Lengkaplah, sepertinya tertutup semua peluang untuk mendapat penghasilan.

Betulkah semua sudah tertutup? Tentu saja tidak. Masih ada Allah yang Maha Luas rejeki dan karunianya. Memang tidak ada kepastian semuanya akan mudah, tetapi ada jaminan bahwa Allah bersama orang-orang yang menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong, dan  Allah tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan manusia.  Selalu ada kemudahan ketika manusia telah mencapai batas kemampuan untuk mengatasi kesulitannya. Selalu ada hikmah dari setiap peristiwa.  Jadi teringat ketika Rasulullah di tolak dakwahnya di Thaif, di lukai oleh orang-orang disana hingga malaikat saja tidak tega melihatnya dan menawarkan untuk menghancurkan orang-orang tersebut dengan menimpakan gunung, justru Rasulullah menolaknya dan memilih untuk mendoakan mereka.  Bertepatan dengan akhir tahun 2012, di tengah kesulitan hebat saya pun memilih menulis resolusi 2013 yang 'mustahil' dan mendoakannya di setiap kesempatan yang terbaik.

Resolusi 2013 yang selalu saya doakan antara lain, ingin mendatangkan istri dan anak-anak kembali ke Nagasaki sebelum Maret, mendapat beasiswa atau part time job, mengadakan acara besar di Nagasaki (dalam kapasitas sebagai ketua PPI Nagasaki), jalan-jalan ke Tokyo dan beberapa hal lainnya.  Dengan kondisi saat itu, semua resolusi jelas terasa mustahil tapi tetap saja saya meminta istri, anak dan orang tua mendoakannya.

Kenekatan pertama adalah mendatangkan istri dan anak-anak di pertengahan Februari, masih tanpa adanya beasiswa dan part time job.  Tidak terbayang bagaimana biaya hidup, hanya keyakinan bahwa tidak baik suami istri terpisah lebih dari empat bulan dan Allah pasti memberikan rejeki kepada setiap makhluk-Nya.  Secara matematis, kehidupan akan lebih sulit dengan bertambahnya anggota keluarga yang harus dinafkahi.  Tetapi perhitungan manusia jelas berbeda dengan kasih sayang-Nya.

Tepat di hari kedatangan mereka di Nagasaki, saya mendapat part time job di sebuah supermarket, setelah sebelumnya kerja tidak menentu di perusahaan pengiriman barang.  Allah benar-benar tidak membiarkan istri dan anak-anak kesulitan karena gajinya cukup untuk biaya hidup meskipun tidak untuk membayar SPP.  Kemudian datang lagi kabar kehamilan istri.  Lagi-lagi, secara matematis itu akan membebani karena setiap bulan wajib kontrol ke dokter dan biaya persalinanpun katanya cukup mahal.  Masih tergambar jelas, diakhir Mei ketika dokter di rumah sakit memastikan kehamilannya, sore hari ada telepon yang sangat tidak terduga.  Saya mendapat beasiswa!!!

Setengah tidak percaya, saya segera ke international student centre.  Sepanjang perjalanan pikiran berkecamuk? bagaimana mungkin? saya kan gak bisa bahasa Jepang; Prof saya kan tidak punya lobi yang kuat, pengumuman beasiswa kan biasanya maksimal akhir April, dsb, dsb.  Namun demikianlah bila Allah telah berkehendak.  Saya mendapat beasiswa Hashiya, beasiswa yang disediakan oleh perusahaan makanan di Tokyo yang hanya diperuntukkan untuk mahasiswa Indonesia sehingga tidak perlu persaingan antar Prof karena hanya saya satu-satunya mahasiswa Indonesia di nagasaki yang belum mempunyai beasiswa.  Luar biasanya, tidak diperlukan wawancara, jadi tidak masalah meskipun kemampuan bahasa jepang kurang memadai.  Dan yang membuat saya tambah bersujud syukur, setiap peserta wajib datang ke Tokyo untuk menghadiri pertemuan dengan sesama penerima beasiswa. Beberapa resolusi 2013 langsung tercapai!!!.

Hari-hari berikutnya saya lalui seperti mahasiswa asing yang 'normal'.  Saya memilih untuk tidak melanjutkan part time job karena waktu bermain dengan anak-anak jauh lebih menarik.  Setelah itu saya bersama teman-teman pun bisa mengadakan acara Inspirasi Muda Mulia, acara besar pertama di Nagasaki yang dihadiri sekitar 60 orang, hampir seluruh WNI di Nagasaki (link beritanya di sini).  Subhanallah, hampir semua resolusi 2013 tercapai.  Allah sebaik-baik pemberi janji.

So, buat yang masih mempunyai cita-cita melanjutkan sekolah ke luar negeri, jangan dulu dipadamkan keinginan itu karena adanya rintangan-rintangan.  Buat yang sudah mempunyai modal akademik, bahasa, atau bahkan beasiswa, juga jangan terlalu jumawa.  Masih banyak tantangan yang harus di hadapi ke depan.  Ketika sudah tiba di negara tujuan, perbanyak silaturahmi dengan sesama WNI, dengan saudara-saudara muslim dan mahasiswa asing lain serta selalu pelihara hubungan baik dengan Prof dan teman-teman di lab. Bagi yang sudah berkeluarga, jangan sekali-kali berencana untuk tidak membawa keluarga ikut serta. Keluarga bukanlah pengganggu belajar, mereka adalah sumber semangat, motivasi, keceriaan dan rejeki.

Monday, 7 April 2014

Amanah baru yang tiba-tiba

Tanggal 1 April menjadi hari pertama kembali bekerja setelah tiga tahun berpetualang di luar kantor.  Esoknya langsung diajak mengikuti rapat. Masih agak canggung kembali mengunjungi hotel dan membahas dokumen.  Saya bukanlah seorang adapter yang baik, tapi ini harus secepatnya dilakukan.

Tanggal 3 April. Sore hari sebelum pulang ada telepon yang sangat mengejutkan.  Ada acara pelantikan besok, dan saya termasuk yang diundang. Pesan yang sangat jelas, pindah tempat. Tugas baru, amanah baru. Rasanya meja baru selesai dirapikan, bahkan belum semua laci sempat dibuka.

Akhirnya, kita memang harus selalu siap menghadapi sesuatu yang tidak bisa kita hindari.  Sebagai manusia dengan keterbatasan pengetahuan dan akal, kita tidak pernah tahu mana yang pada akhirnya merupakan hasil terbaik.  Tugas kita hanyalah melakukan usaha dan doa yang terbaik dengan menyerahkan seluruh hasil kepada-Nya.  Allah, Zat Yang Maha Bijaksana, tidak menilai hasil akhir tetapi proses untuk mendapatkan hasil tersebut.

Wednesday, 2 April 2014

Sekolah ke luar negeri (1)

Apakah anda termasuk orang yang bercita-cita ingin sekolah di luar negeri? Bila iya, saya yakin semua sepakat bahwa untuk sekolah di luar negeri setidaknya ada dua syarat yang harus dipenuhi.  Pertama, miliki uang yang sangat banyak (bisa uang sendiri atau orang tua) lalu berangkat ke luar negeri dan daftar sekolah disana.  Kedua, cari beasiswa yang banyak tersedia dimana-mana dan tentukan negara serta universitasnya.  Syarat pertama mengharuskan kita menjadi orang berduit atau setidaknya anak orang berduit.  Hal ini bisa kita lihat pada sejumlah anak pejabat atau artis ibukota yang memilih sekolah di negara dan kota-kota ternama di dunia.

Syarat kedua mengharuskan kita memiliki kemampuan akademik dan berbagai prestasi agar bisa bersaing dalam kompetisi memenangkan beasiswa. Banyak sumber beasiswa mulai yang tersedia di unit kerjanya (mis. PNS kementerian atau lembaga non kementerian), atau dari lembaga lain seperti yang disediakan Bappenas (umumnya untuk PNS) atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menyediakan beasiswa untuk para dosen dan beasiswa unggulan bagi yang mempunyai prestasi.

Tersedia juga beasiswa dari pemerintah negara tujuan, misalnya monbukagakusho yang disediakan oleh pemerintah Jepang atau dari pihak swasta seperti panasonic award dsb. Dari mana dapat memperoleh sumber informasi beasiswa? Di era digital seperti ini, mencari informasi bukanlah hal yang sulit.  Luangkan waktu untuk menjelajah di dunia maya dan temukan berbagai macam informasi yang bisa kita validasi. Jangan abaikan pentingnya mempunyai informasi dari orang-orang yang sudah pernah bersekolah disana.  Lulusan luar negeri yang mempunyai kinerja baik selama menjadi mahasiswa biasanya tidak sulit bila merekomendasikan orang yang dikenalnya karena adanya hubungan baik dengan Profesornya.

Saya ingin berbagi informasi mengenai monbukagakusho. Bukan, saya bukan mantan penerima beasiswa tersebut, tapi istri saya.  Setahu saya ada dua tipe beasiswa monbukagakusho. Pertama, seleksi dilakukan oleh pihak kedutaan Jepang di Indonesia yang biasanya tingkat persaingannya cukup tinggi atau seleksi bisa langsung dilakukan oleh universitas.  Buat yang tidak memiliki kemampuan bahasa Jepang, gak perlu mundur teratur karena teman saya ada yang mendapat beasiswa melalui proses seleksi di kedutaan dan dia tidak mempunyai kemampuan bahasa Jepang sama sekali.  Istri saya mendapat beasiswa melalui jalur yang kedua.  Informasi yang saya dapatkan, Professor yang mempunyai pengaruh cukup besar kadang mempunyai 'jatah' bisa mencari dan menyeleksi sendiri mahasiswanya untuk mendapatkan langsung beasiswa ini.  Nah, banyak cara dilakukan Profesor ini dalam mencari mahasiswa. Bisa dari komunikasi via email atau melalui hubungan pertemanan.  Istri saya mendapat informasi beasiswa ini dari hubungan pertemanan antara Professor di Nagasaki dengan teman kuliahnya yang menjadi pengusaha di Jepang dan mempunyai hubungan kerjasama dengan Indonesia.  Apakah seleksinya sulit? menurut saya tidak, karena hanya diberikan tiga soal melalui email masing-masing satu dari Professor, Associate Professor dan Assistant Professor dan diberikan waktu seminggu. Tentu saja mereka juga memperhatikan keterkaitan penelitian yang akan diambil serta academic background.

Jadi kesimpulannya, untuk sekolah di luar negeri syaratnya harus kaya (bisa berangkat dengan biaya sendiri), atau harus pintar (bisa bersaing mendapatkan beasiswa. Benarkah hanya dengan cara itu??? Pengalaman saya mengatakan TIDAK!!!

Ada banyak mahasiswa asing (umumnya dari China) yang hanya berbekal kemampuan finansial secukupnya datang ke Nagasaki (mungkin juga kota lain di Jepang) untuk sekolah.  Mereka mendapatkan informasi Professor atau lab yang mau menerima mereka dari teman-teman yang sudah lebih dahulu ada.  Bahkan sebagian dari mereka sama sekali tidak mempunyai kemampuan bahasa Inggris dan bahasa Jepang.  Dengan hanya berbekal tiket ke Nagasaki dan dukungan dari orang tuanya yang tidak seberapa, mereka datang ke Nagasaki.  Lalu bagaimana cara mereka bertahan secara akademik maupun finansial?  Ketika pertama datang, yang dilakukan adalah mengikuti kursus bahasa Jepang yang disediakan gratis oleh universitas secara intensif.  Umumnya mereka sangat cepat belajar karena kemiripan tulisan kanji dan bisa survive di dalam pergaulan.  Untuk bertahan hidup, kerja paruh waktu (part time) dilakukan meskipun tidak jarang hal ini mengganggu waktu belajar dan penelitian.

Berani melakukan seperti itu? saran saya kalaupun berani jangan konyol.  Pelajari dahulu dengan detail situasi di kota yang akan di tuju, sifat penelitian yang akan dilakukan, informasi ketersediaan part time job dari teman-teman yang sudah melakukannya.  Bagaimanapun kalau tujuan datangnya adalah untuk sekolah, ya sekolahlah yang utama bukan bekerja.

Selain itu adakah cara lainnya??? ternyata masih ada, tetapi tips ini hanya berlaku bagi yang masih jomblo. Apa itu? Menikahlah dengan orang yang mempunyai dua syarat utama tadi, yang kaya atau yang pintar he he.  Setidaknya itulah yang terjadi dengan saya.  Dengan keterbatasan finansial dan kemampuan akademik biasa-biasa saja, membayangkan bisa lanjut kuliah S2 saja hampir tidak pernah, apalagi di luar negeri!. Tetapi Allah lah sebaik-baik pembuat rencana.  Karena istri saya mendapat beasiswa ke Jepang untuk S2 dari monbukagakusho, saya dengan harus ikut mendampingi agar anak-anak tidak jauh dari Ibunya sebagai konsekuensi telah mengijinkannya ikut proses seleksi.  Artinya? saya 'terpaksa' harus ikut ke Jepang.

Bagaimana hingga kemudian saya bisa S2, dengan kemampuan finansial, akademik dan bahasa yang sangat terbatas? Insha Allah di tulisan berikutnya saya ceritakan.