Ini
merupakan lanjutan tulisan sebelumnya disini.
Ada buku bisnis yang bagus berjudul “The Power of Kepepet” karya seorang
pengusaha muda yang sukses bernama Jaya Setiabudi. Sesuai judulnya, buku itu memberikan banyak
tips dan kisah sukses dari penulis dan orang lain yang bangkit dari
keterpurukan bisnisnya dengan melakukan hal-hal yang tidak terduga dan
cenderung nekat. Pesannya, kebanyakan orang cenderung lebih
keras berusaha dan mengeluarkan kemampuan terbaik hingga titik tertinggi ketika
sedang kepepet (terdesak). Itulah yang juga terjadi dengan saya.
Di atas
kertas, tanpa kemampuan akademik dan finansial memadai sulit bertahan hidup di
negeri orang untuk sekolah. Bila tidak punya
kekuatan finansial, kemampuan akademik dan bahasa diperlukan untuk mencari
beasiswa. Tapi kalau keduanya tidak
punya? Setidaknya saya masih bisa berdoa…dan tanpa sadar menjalani teori the power of kekepet.
Ada
beberapa langkah yang saya lakukan. Pertama,
meminimkan pengeluaran. Biaya hidup seperti
makan, bayar sewa rumah, listrik, air dan gas itu lumayan besar. Jadi semua komponen tersebut harus di
hemat. Alhamdulillah, meskipun hidup
hemat selama tiga tahun di Jepang saya tidak pernah ke rumah sakit untuk berobat.
Bahkan disaat banyak orang harus menggunakan masker dan tidak bisa
beraktifitas ketika masuk musim dingin karena terserang flu atau demam, saya
tetap dalam keadaan bugar.
Ketika Prof
saya bertanya apa rahasianya, saya jawab, banyak minum air putih, makan jeruk
dan puasa. Sejak lama saya terbiasa
mengkonsumsi air minum minimal 2 liter sehari yang dimulai sejak bangun tidur,
jeruk yang banyak mengandung vitamin C diperlukan untuk memperkuat pertahanan
tubuh sedangkan manfaat puasa untuk kesehatan? Sudah banyak yang mengulas. Kebiasaan itu tidak perlu biaya besar. Puasa jelas mengurangi makan, air minum mudah
diperoleh secara gratis (bisa baca di link ini), harga jeruk di musim dingin
juga lebih murah dibanding musim lainnya.
Kata Prof saya, dari ketiga tips itu hanya makan jeruk yang bisa
dilakukan. Puasa jelas tidak mungkin, minum air putih juga susah karena orang
Jepang terbiasa minum teh dan kopi.
Langkah
berikutnya adalah mencari beasiswa untuk biaya hidup maupun bayar SPP yang
jumlahnya hamper Rp 30 juta per semester.
Saya baru tahu kalau ternyata tersedia banyak sekali beasiswa. Rajin-rajin saja berkunjung ke international
student center baik secara langsung maupun ke websitenya. Dan yang saya lakukan tidak hanya website di
universitas Nagasaki, tapi juga universitas lain di Jepang dan websitenya
JASSO. Kebiasaan ini sangat berguna untuk
mendapatkan informasi peluang besiswa yang informasinya tidak sampai ke Nagasaki. Dengan akses internet yang mudah, informasi
bisa didapatkan dari berbagai sumber.
Luangkan waktu menjelajah di internet.
Tetapi, hal
yang saya kuatirkan terjadi. Tidak ada
satupun beasiswa yang saya ajukan diterima. Gagalnya bisa di tahap wawancara
yang harus menggunakan bahasa Jepang, ataupun langsung tidak lolos di tahap seleksi
administrasi. Situasi makin runyam
tatkala ada informasi bahwa universitas akan mengurangi bantuan SPP bagi
mahasiswa asing. Di tengah kondisi yang
galau, saya nekat tanya-tanya mulai ke Prof saya hingga ke pejabat-pejabat di fakultas.
Tetapi saya mendapat jawaban tidak memuaskan dan kurang membantu mencari
solusi untuk mendapatkan beasiswa. Di
kemudian hari saya baru menyadari bahwa untuk mendapatkan beasiswa, faktor penting
di awal adalah kekuatan lobi dari Prof.
Bila Prof kita cukup senior dan mempunyai pengaruh di unversitas,
peluang lolos dan mendapatkan beasiswa cukup besar meskipun kita tidak punya
kemampuan bahasa Jepang. Sayangnya, saya mempunyai Prof yang masih muda dan
tidak punya pengaruh bahkan di level fakultas!!!
Ada saran
dari mahasiswa asing lain yang senasib.
Cari part time job!!! Dalam kondisi normal, sepertinya itu pekerjaan
sia-sia. Kenapa? Karena dibutuhkan
kemampuan bahasa Jepang (ya iyalah, namanya juga kerja kan harus ngomong…). Tapi tetap saja saya melakukannya. Saya mencari informasi dari berbagai sumber,
mulai koneksi teman-teman Indonesia, mahasiswa asing khususnya dari China, dari
majalah (yang ini minta tolong bacain sama orang Jepang) hingga mendatangi part
time job center milik pemerintah dan swasta.
Dapat kerjanya? Tidak. Alasan utamanya, kemampuan bahasa Jepangnya
kurang memadai. Lengkaplah, sepertinya
tertutup semua peluang untuk mendapat penghasilan.
Resolusi 2013 yang selalu saya doakan antara lain, ingin mendatangkan istri dan anak-anak kembali ke Nagasaki sebelum Maret, mendapat beasiswa atau part time job, mengadakan acara besar di Nagasaki (dalam kapasitas sebagai ketua PPI Nagasaki), jalan-jalan ke Tokyo dan beberapa hal lainnya. Dengan kondisi saat itu, semua resolusi jelas terasa mustahil tapi tetap saja saya meminta istri, anak dan orang tua mendoakannya.
Kenekatan pertama adalah mendatangkan istri dan anak-anak di pertengahan Februari, masih tanpa adanya beasiswa dan part time job. Tidak terbayang bagaimana biaya hidup, hanya keyakinan bahwa tidak baik suami istri terpisah lebih dari empat bulan dan Allah pasti memberikan rejeki kepada setiap makhluk-Nya. Secara matematis, kehidupan akan lebih sulit dengan bertambahnya anggota keluarga yang harus dinafkahi. Tetapi perhitungan manusia jelas berbeda dengan kasih sayang-Nya.
Tepat di hari kedatangan mereka di Nagasaki, saya mendapat part time job di sebuah supermarket, setelah sebelumnya kerja tidak menentu di perusahaan pengiriman barang. Allah benar-benar tidak membiarkan istri dan anak-anak kesulitan karena gajinya cukup untuk biaya hidup meskipun tidak untuk membayar SPP. Kemudian datang lagi kabar kehamilan istri. Lagi-lagi, secara matematis itu akan membebani karena setiap bulan wajib kontrol ke dokter dan biaya persalinanpun katanya cukup mahal. Masih tergambar jelas, diakhir Mei ketika dokter di rumah sakit memastikan kehamilannya, sore hari ada telepon yang sangat tidak terduga. Saya mendapat beasiswa!!!
Setengah tidak percaya, saya segera ke international student centre. Sepanjang perjalanan pikiran berkecamuk? bagaimana mungkin? saya kan gak bisa bahasa Jepang; Prof saya kan tidak punya lobi yang kuat, pengumuman beasiswa kan biasanya maksimal akhir April, dsb, dsb. Namun demikianlah bila Allah telah berkehendak. Saya mendapat beasiswa Hashiya, beasiswa yang disediakan oleh perusahaan makanan di Tokyo yang hanya diperuntukkan untuk mahasiswa Indonesia sehingga tidak perlu persaingan antar Prof karena hanya saya satu-satunya mahasiswa Indonesia di nagasaki yang belum mempunyai beasiswa. Luar biasanya, tidak diperlukan wawancara, jadi tidak masalah meskipun kemampuan bahasa jepang kurang memadai. Dan yang membuat saya tambah bersujud syukur, setiap peserta wajib datang ke Tokyo untuk menghadiri pertemuan dengan sesama penerima beasiswa. Beberapa resolusi 2013 langsung tercapai!!!.
Hari-hari berikutnya saya lalui seperti mahasiswa asing yang 'normal'. Saya memilih untuk tidak melanjutkan part time job karena waktu bermain dengan anak-anak jauh lebih menarik. Setelah itu saya bersama teman-teman pun bisa mengadakan acara Inspirasi Muda Mulia, acara besar pertama di Nagasaki yang dihadiri sekitar 60 orang, hampir seluruh WNI di Nagasaki (link beritanya di sini). Subhanallah, hampir semua resolusi 2013 tercapai. Allah sebaik-baik pemberi janji.
So, buat yang masih mempunyai cita-cita melanjutkan sekolah ke luar negeri, jangan dulu dipadamkan keinginan itu karena adanya rintangan-rintangan. Buat yang sudah mempunyai modal akademik, bahasa, atau bahkan beasiswa, juga jangan terlalu jumawa. Masih banyak tantangan yang harus di hadapi ke depan. Ketika sudah tiba di negara tujuan, perbanyak silaturahmi dengan sesama WNI, dengan saudara-saudara muslim dan mahasiswa asing lain serta selalu pelihara hubungan baik dengan Prof dan teman-teman di lab. Bagi yang sudah berkeluarga, jangan sekali-kali berencana untuk tidak membawa keluarga ikut serta. Keluarga bukanlah pengganggu belajar, mereka adalah sumber semangat, motivasi, keceriaan dan rejeki.