Ada pengalaman unik ketika pulang dari Uganda tanggal 3 Desember 2010 sehabis menghadiri sidang tentang higieni pangan. Pesawat dari Uganda berangkat sekitar pukul 16.20 waktu setempat (lebih dulu empat jam dari WIB). Dari bandara Entebbe di uganda, pesawat transit di Addis Ababa, Eithopia sekitar setengah jam, kemudian langsung ke Dubai. Sampai di Dubai sekitar pukul 02.00 dinihari. Masih ada waktu dua jam untuk shalat dan tentu saja jalan-jalan sekalian belanja buat anak-anak shalehah. Ada pesen dari ibunya anak-anak pesen supaya dibeliin boneka unta buat ayu dan dede. Lumayan mahal juga. Harga boneka yang besar 35 real Dubai, yang agak kecil 30 real. Karena masih ada sisa uang, dibelilah satu lagi yang lebih kecil buat keponakan, dede mira.
Setelah belanja, langsung menuju ruang tunggu sambil menunggu boarding. Ada banyak rombongan haji asal Indonesia yang sudah berkumpul, hendak pulang juga ke tanah air. Hmmmmm, seketika jadi rindu menjadi tamu Allah ke tanah suci. Semoga semuanya menjadi haji yang mabrur dan saya sekeluarga bisa cepat nyusul ke Mekkah. Aamiin.
Setelah di dalam pesawat yang membawa terbang dari Dubai ke Jakarta, saya duduk di kursi tengah diapit oleh dua ibu-ibu. Ini dia uniknya. Setelah setengah jalan perjalanan, baru tahu kalau ibu yang di sebelah kanan, yang duduk dekat jendela adalah istri dari Bapak Duta Besar RI untuk salah satu negara di Timur Tengah yang sehari-hari banyak berkutat dengan masalah TKW, sebelah kiri adalah seorang TKW asal Jawa Tengah. Jadilah saya mendapat dua cerita tentang TKW dari sudut pandang pemerintah dan dari si pelaku, TKW itu sendiri.
Istri Duta Besar bercerita bahwa beliau banyak berbagi pengalaman tentang kondisi TKI/TKW yang ada di negara-negara kawasan Arab. Tidak banyak kisah sukses TKI/TKW yang diceritakan. Cerita pedih TKW yang disiksa majikan seperti badannya ditempel setrika panas karena kurang licin menyetrika, disiram air panas, tidak dikasih tempat tidur, makannya susah, gaji tidak dibayar, pelecehan seksual, dsb. Tapi yang aneh, tetap saja banyak TKW yang datang. Faktor utama, selain tentu saja masalah ekonomi tetapi juga fakta bahwa pengiriman TKW telah menjadi bisnis yang menggiurkan bagi segelintir orang, baik di Indonesia maupun di negara tujuan. Bayangkan saja, untuk mendaftar menjadi TKI diperlukan biaya pendaftaraan ke agen sekitar Rp 2-3 juta, terus ketika di negara tujuan majikan harus menebus sekitar Rp 15 juta. Benar-benar bisnis yang menggiurkan. Padahal ketika si TKW mengalami masalah, hampir tidak ada agen yag bertanggung jawab penuh.
Istri Duta Besar bercerita bahwa beliau banyak berbagi pengalaman tentang kondisi TKI/TKW yang ada di negara-negara kawasan Arab. Tidak banyak kisah sukses TKI/TKW yang diceritakan. Cerita pedih TKW yang disiksa majikan seperti badannya ditempel setrika panas karena kurang licin menyetrika, disiram air panas, tidak dikasih tempat tidur, makannya susah, gaji tidak dibayar, pelecehan seksual, dsb. Tapi yang aneh, tetap saja banyak TKW yang datang. Faktor utama, selain tentu saja masalah ekonomi tetapi juga fakta bahwa pengiriman TKW telah menjadi bisnis yang menggiurkan bagi segelintir orang, baik di Indonesia maupun di negara tujuan. Bayangkan saja, untuk mendaftar menjadi TKI diperlukan biaya pendaftaraan ke agen sekitar Rp 2-3 juta, terus ketika di negara tujuan majikan harus menebus sekitar Rp 15 juta. Benar-benar bisnis yang menggiurkan. Padahal ketika si TKW mengalami masalah, hampir tidak ada agen yag bertanggung jawab penuh.
Informasi dan pengalaman nyata seorang TKW diceritakan oleh ibu yang duduk di sebelah kiri. Si ibu tersebut, yang ternyata pengetahuan baca tulisnya minim (terbukti dari sulitnya ia mengisi kartu kedatangan dan imigrasi sehingga harus saya bantu pengisiannya), menceritakan bahwa ia telah tujuh tahun bekerja di salah satu negara Timur Tengah. Gaji yang ia terima sekitar 1 jutaan, selalu dibayar oleh majikan. Awalnya saya berpikir, ibu ini beruntung mendapat majikan yang baik. Tetapi ketika digali informasi lebih dalam lagi, ternyata ia mempunyai pengalaman lainnya....
Ia tinggal di keluarga besar yang jumlah totalnya 25 orang dan hanya ia pembantu satu-satunya. Bisa dibayangkan beratnya ia mencucu dan menyetrika pakaian serta memasak dan mengurus rumah. Rumah tersebut hanya punya 4 kamar tidur, sehingga si Ibu harus tidur di suatu tempat yang sebenarnya bukan kamar tidur. Sering ia tidak kebagian makan, karena sekali masak untuk 25 orang, dan porsi makan mereka besar besar. Mi instan menjadi makanan utamanya karena seringnya tidak kebagian makanan. Omelan, terutama dari majikan perempuan sering ia dapatkan. Pernah ia diomeli kemudian di dorong sampai terjatuh di kamar mandi. Dengan gaji hanya berkisar di angka 1 jutaan, dengan beban seperti di atas, ditambah harus jauh meninggalkan suami dan anak, sungguh merupakan kondisi yang membuat miris. Apa yang membuat si ibu bertahan hingga tujuh tahun? Ya, kondisi ekonomi dan minimnya kesempatan kerja di Indonesia lah yang membuat ia harus kembali lagi bekerja meskipun sebenarnya ingin sekali bekerja di Indonesia.
Ia tinggal di keluarga besar yang jumlah totalnya 25 orang dan hanya ia pembantu satu-satunya. Bisa dibayangkan beratnya ia mencucu dan menyetrika pakaian serta memasak dan mengurus rumah. Rumah tersebut hanya punya 4 kamar tidur, sehingga si Ibu harus tidur di suatu tempat yang sebenarnya bukan kamar tidur. Sering ia tidak kebagian makan, karena sekali masak untuk 25 orang, dan porsi makan mereka besar besar. Mi instan menjadi makanan utamanya karena seringnya tidak kebagian makanan. Omelan, terutama dari majikan perempuan sering ia dapatkan. Pernah ia diomeli kemudian di dorong sampai terjatuh di kamar mandi. Dengan gaji hanya berkisar di angka 1 jutaan, dengan beban seperti di atas, ditambah harus jauh meninggalkan suami dan anak, sungguh merupakan kondisi yang membuat miris. Apa yang membuat si ibu bertahan hingga tujuh tahun? Ya, kondisi ekonomi dan minimnya kesempatan kerja di Indonesia lah yang membuat ia harus kembali lagi bekerja meskipun sebenarnya ingin sekali bekerja di Indonesia.
Kalau sudah begini, kapan waktu baginya untuk mendidik anak? bagaimana ia dapat mengurusi suami? bagaimana ia menjalankan fungsinya sebagai seorang Ibu? padahal posisi Ibu sangat vital dalam keluarga. Meskipun hal terrsebut mungkin terlintas dalam pikirannya tetapi kondisi lah yang memaksa ia harus mengabaikannya. Siapa yang harus bertanggung jawab dalam kasus ini? Jadi ingat kisah Khalifah Umar Bin Khathab yang rela memanggul sendiri gandum di malam hari untuk memberi makan seorang ibu yang tidak mempunyai persediaan makanan. Ketika "ajudannya" menawarkan diri untuk memanggul gandum tersebut, Khalifah mengatakan, apakah kamu mau memanggul dosaku di akhirat nanti? Subhanallah, adakah pemimpin saat ini yang mempunyai rasa tanggung jawab seperti Khalifah Umar? Pemimpin seperti itu hanya ada ketika suatu negeri menerapkan syariah Islah secara kaffah dan dipimpin oleh seorang Khalifah. Itulah janji Allah yang harus diimani setiap muslim.
No comments:
Post a Comment