Sejak Selasa sore, anak-anak sudah 'mengungsi' di rumah Teh Lida, salah seorang teman baik dari Bandung yang menikah dengan orang Nagaasaki. Sudah beberapa kali diajak menginap sejak rumahnya pindah ke apartmenet pemerintah. Bahagia juga melihat mereka bermain dengan yu kun, anak semata wayang Teh Lida, tanpa mereka mengerti bahwa ketika esok harinya berpisah, entah kapan lagi mereka dapat bertemu. Terlalu banyak bantuan yang diberikan oleh Teh Lida sekeluarga, semoga Allah membalas kebaikannya.
Mulai rabu sore, penginapan berganti ke rumah Obaachan, seorang nenek asal Jepang yang tinggal seorang diri. Di sana, ia sudah menanti dengan hidangan khas Jepang dan mempersiapkan segala sesuatunya agar semuanya nyaman bermalam. Obaachan (dalam bahasa Jepang kata ini berarti nenek) ini bernama asli Aiko. Alhamdulillah, belum lama memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Aisyah atau penulisan dalam huruf katakana-nya adalah Aisa.
Ada yang membuat saya sedikit terperanjat. Ketika saya tanya apa selama ini sudah rutin melaksanakan shalat, beliau berkata tidak karena shalat itu sangat menyulitkan. Pertama, sulit sekali berwudhu apalagi di waktu shubuh karena dapat menyiksa tubuhnya yang sudah renta. Begitupun, kadang tidak kuat berdiri terlalu lama atau bersujud dengan sempurna seperti yang telah diberitahu/dicontohkan banyak orang. Dengan perlahan (maklum bahasa Jepang pas-pasan), saya sampaikan bahwa untuk orang yang tidak mampu karena alasan yang dibenarkan seperti sakit, sudah tua, dsb, boleh shalat 'sebisanya'. Wudhu bisa diganti dengan tayamum, shalat berdiri bisa diganti dengan duduk, bila tidak bisa bersujud bisa dengan hanya menundukkan kepala. Bahkan shalat dengan hanya menggunakan isyarat tetap diperbolehkan. Yang penting: kerjakan shalat!. Jadilah saat itu praktek tayamum dan shalat maghrib. Saya menjadi imam, sedangkan beliau, istri dan anak-anak menjadi makmum. Ya Allah berilah perlindungan kepada Obaachan sampai akhir hayatnya, agar tetap istiqamah dalam Islam.
Kamis pagi, Obaachan menunda jadwalnya ke rumah sakit untuk mengantar kami ke halte bus. Sedih sekali melihat Obaachan berkali-kali mengatakan, wasurenai de ne...wasurenai de ne...(jangan lupa ya...jangan lupa ya...). Obaachan secara khusus meminta gamis yang dipakai istri saya pada hari itu dan jaket anak-anak. Sekali lagi terharu melihatnya memeluk jaket anak-anak ketika bus yang kami tumpangi bereangkat menuju bandara Fukuoka. Entah, kapan lagi bisa bertemu Obaachan.
Sepanjang jalan, berkecamuk berbagai macam perasaan. Terlalu banyak kenangan selama tiga tahun. Agak sedih juga melihat anak-anak yang terpaksa harus berpisah dengan teman-temannya yang baru saja mulai akrab. Entah, apakah suatu saat diantara mereka bisa bertemu kembali.
Tetapi diluar perasaan itu, sesungguhnya ada perasaan lain yang tidak kalah menggelora. Senaang!!! bukan karena telah berhasil menyelesaikan sekolah atau juga bukan karena akan kembali bisa merasakan makanan Indonesia lagi. Tapi rasa senang karena akan bertemu dengan orang tua lagi selama tiga tahun. Rasa ini telah dominan ada sejak pertama kali meninggalkan mereka.
Jumat dinihari, dari bandara Soekarno Hatta langsung meluncur ke kemayoran. Turun dari mobil langsung kupeluk dengan erat kedua orang tua satu persatu hingga air mata menetes. Aku sangat rindu mereka. Teman-teman mungkin akan datang dan pergi dalam perjalanan hidup setiap manusia karena sudah sunatullah setiap pertemuan pasti memerlukan saat-saat perpisahan. Tetapi keluarga, ibu, ayah, anak, istri/suami, kakak/adik tidak ada kata berpisah, bahkan meskipun dipisahkan jarak, waktu atau telah berbeda dunia sekalipun.
No comments:
Post a Comment