Salah satu ciri khas berlebaran di Indonesia adalah ritual mudik atau pulang kampung yang tujuan mulianya adalah untuk bersilaturahim dengan orang tua, keluarga dan/atau kerabat. Tahun ini, lebaran pertama setelah tiga tahun tidak berlebaran bersama keluarga besar, saya sekeluarga mudik ke Muara Dua, yang termasuk dalam kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, propinsi Sumatera Selatan. Perjalanan normal dari Bogor dengan membawa kendaraan sendiri ditempuh dalam waktu minimal 16 jam.
Dengan perjalanan yang sedemikan panjang dan melelahkan itu, tentu saja butuh persiapan matang apalagi membawa tiga bidadari kecil. Mulai dari 'mendandani' mobil, perbekalan selama diperjalanan, oleh-oleh, dan yang pasti uang yang cukup. Saya berada di Muara Dua hingga Sabtu sedangkan istri dan anak-anak masih tetap tinggal hingga cutinya selesai.
Perjalanan kembali ke Bogor Sabtu kemarin benar-benar membutuhkan kesabaran tingkat tinggi. Bagaimana tidak, berangkat dari rumah pukul 8.30, bus berangkat pukul 12.00 siang dan berhasil tiba di pelabuhan Bakaheuni sekitar pukul 1.00 dinihari, namun antrian panjang masuk kapal yang dilansir detik.com hingga mencapai 5 km menyebabkan bus yang saya tumpangi baru bisa masuk kapal sekitar pukul 11.10. Lebih dari 10 jam antri di pelabuhan. Baru pukul 18.30 saya berhasil tiba di rumah dengan selamat, yang berarti total perjalanan dari rumah ke rumah sekitar 35 jam.
Sepanjang perjalanan saya teringat bahwa pada hakekatnya kita semua juga akan 'mudik'. Tempat tinggal pertama Nabi Adam ketika diciptakan oleh Allah adalah di surga, sehingga wajar bila ada yang mengatakan surga sesungguhnya adalah 'kampung halaman' kita. Bila mudik lebaran kita bisa memperkirakan jarak tempuh kampung halaman, 'mudik ke surga' ini tidak dapat dipastikan jauh perjalanannya.
Kita hanya tahu bahwa setiap orang pasti akan mengalami kematian dan setelah masuk ke alam kubur semua akan menanti dibangkitkan di hari akhir untuk mempertangguungjawabkan perbuatannya sebelum ada keputusan apakah kita akan kembali ke 'kampung halaman' di surga atau justru ke neraka. Hidup di dunia ini merupakan persiapan untuk mengumpulkan bekal pulang ke kampung halaman. Bila untuk perjalanan selama 16 jam atau 35 jam saja persiapan yang dibutuhkan sangat detil, apalagi perjalanan yang kita tidak tahu kapan berakhirnya.
Kesempatan mengumpulkan bekal hanya ketika di dunia karena setelah di alam kubur hanya tiga hal yang menemani, doa anak yang shaleh/shalehah, ilmu yang bermanfaat dan amal yang ketiganya harus disiapkan di dunia. Seberapa banyak harta yang dimiliki di dunia, harta terakhir yang dibawa adalah kain kafan, semewah apapun kendaraan yang dimiliki di dunia, kendaraan terakhir yang digunakan adalah keranda dan seberapa luaspun rumah didunia, tempat tinggal terakhir hanyalah kuburan seluas 1x2 meter.
Tidak ada satu makhluk pun yang tahu kapan dirinya akan meninggalkan dunia. Maut tidak mengenal tua-muda, sehat-sakit, kaya-miskin, pria-wanita, pejabat-rakyat jelata, semua pasti mengalami kematian. Tidak ada yang bisa merasa umur masih panjang hanya karena masih berusia muda atau masih sehat, segar bugar, punya uang banyak untuk berobat, dsb.
Ketika saya antri di pelabuhan selama lebih dari 10 jam, perasaan bosan, jengkel dan lelah fisik begitu menyiksa. Pikiran ini mengembara ke suatu masa ketika nanti menghadapi antrian di padang mahsyar yang tidak bisa diperkirakan waktunya, menunggu giliran di hisab yang dikabarkan pada saat itu matahari berjarak sangat dekat dengan ubun-ubun kepala sehingga ada yang tenggelam di keringatnya sendiri. Hidup di dunia yang sebentar ini benar-benar akan menentukan bagaimana kehidupan kita berikutnya di alam kubur, hari kebangkitan dan alam akhirat.
Wallahualam.
No comments:
Post a Comment