Pages

Monday, 15 February 2016

Ironi sakratul maut

Seperti biasa, bila hari libur tiba salah satu kegiatan favorit adalah berkunjung ke rumah orang tua di kemayoran bersama seluruh 'pasukan'.  Dipersiapkanlah semua keperluan sejak sebelum shubuh tiba, mulai dari makanan untuk sarapan di jalan, baju ganti, hingga minta tolong pakde dan bude memesan mobil melalui aplikasi online untuk keberangkatan sekitar pukul 8.

Hal yang tidak berubah adalah keberangkatan yang lebih lambat dari rencana.  Bergiliran mandi, ada yang ngajak jalan-jalan dulu keliling komplek dan beli bubur, menyebabkan mobil sewaan baru bisa berangkat menjelang pukul 9.

Saat kendaraan roda empat itu melaju di atas tol jagorawi, teringat status facebook salah seorang tetangga ketika masih tinggal di Nagasaki, yang sedang berlibur bersama anak semata wayangnya ke kampung halaman di Bandung.  Karena desakan rasa kangen setelah dua tahun bertemu, akhirnya perjalanan yang semestinya ke kemayoran berbelok ke Cibiru, Bandung.

Yushi kun, anak berumur 6 tahun keturunan Sunda-Jepang itu sudah semakin tinggi dibanding ketika pertemuan terakhir di apato (apartemen) nya dua tahun lalu.  Sehari sebelum pulang ke Indonesia, kami memang menginap di apato mereka, mungkin karena beratnya berpisah setelah tiga tahun bertetangga.

Tanpa bisa dibendung lagi, cerita-cerita masa lalu bersahut-sahutan, mengenang nostalgia selama bertetangga di sana.  Sampai pada obrolan tentang neneknya Yushi kun yang ketika kami pulang masih terbaring di rumah sakit karena kanker di lidahnya.  Karena sudah menjalar ke seluruh organ tubuhnya, sekitar Oktober 2014 si nenek menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Lalu meluncurlah cerita mengenai proses perawatan si nenek hingga ajal menjemputnya dan tradisi orang Jepang yang melarang seluruh anggota keluarganya untuk bepergian jauh minimal satu tahun setelah kematian si nenek. Awalnya si nenek dirawat di rumah sakit umum yang terbaik di Nagasaki karena penyakitnya yang berat.  Sempat dilakukan beberapa kali tindakan operasi yang dilanjutkan kemoterapi yang membuat si nenek kesulitan berkomunikasi.  Tapi rupanya berbagai tindakan tersebut tidak mampu menundukkan kankernya yang semakin ganas dan menjalar ke seluruh tubuhnya.

Kami juga baru tahu kebiasaan yang berlaku di Nagasaki, kalau seseorang sudah tidak ada harapan hidup lagi karena penyakit yang secara medis dokter sudah angkat tangan, si pasien akan dipindahkan ke rumah sakit lain di daerah Motohara.  Menurut informasi, disana diberi infus yang berisi obat-obatan yang akan mempercepat kematiannya tanpa harus menderita rasa sakit berkepanjangan.  Di hari terakhir kematiannya, si nenek ditunggui oleh banyak orang, selain keluarganya juga teman-teman dekatnya.

Menariknya, di saat sakratul maut itu si nenek ditemani lagu-lagu berirama disko.  Mau tau tujuannya? ternyata agar si nenek bisa bahagia menjalani kematiannya, tanpa rasa sakit, sambil berdansa. Dan mereka semua berseru gembira ketika detik-detik sakratul mautnya jari-jari kaki si nenek bergerak-gerak, karena menurut mereka itu menandakan si nenek bergembira ria menghadapi kematiannya yang ditunjukkan dengan menari mengikuti irama musik disko yang diputarkan. Itu juga berarti di alam sana, dia akan senang. Yokatta ne..yokatta ne...

Sangat kontras dengan pemahaman kita.  Detik-detik sakratul maut adalah saat yang tepat untuk membimbing dengan kalimat-kalimat tauhid, alih-alih memutarkan lagu disko.  Gerakan jari kaki orang yang sedang sakratul maut tentu saja adalah responnya atas diangkatnya ruhnya oleh Malaikat Izrail, yang otomatis akan bergerak meskipun tidak ada irama musik.  Demikianlah yang dikabarkan oleh Rasulullah SAW tentang sakitnya orang yang diangkat ruhnya oleh malaikat maut.

Itu juga yang menjadi kekuatiran terbesar kepada Yushi kun ketika besar.  Berbagai pemahaman tentang agama, termasuk mengkhitankannya ketika sedang liburan di Bandung ini meskipun ada keberatan dari keluarga besarnya di Jepang, dilakukan oleh ibunya, dengan harapan agar ketika dewasa kelak pemahaman Islamnya lebih dominan dibandingkan kepercayaannya terhadap leluhur.  Dan doa kami pun turut menyertai.

No comments:

Post a Comment