Pages

Sunday, 30 March 2014

Penyakit akibat karsinogenik

Kalau di tulisan sebelumnya tentang alergen diceritakan tentang dua tahap reaksi ketika tubuh terkena alergi, sekarang saya ingin mengulas tentang karsinogenik.  Secara definisi, karsinogenik merupakan zat yang dapat menyebabkan kanker pada tubuh.  Zat ini bisa berasal dari bahan tambahan (food additive) yang ditambahkan ke dalam makanan tidak sesuai aturan; pestisida untuk tumbuhan atau hormon pertumbuhan hewan yang digunakan secara serampangan; atau bisa juga terbentuk selama proses pengolahan makanan; maupun dari udara sekitar yang terkena polusi kendaraan dan asap rokok.

Karsinogen umumnya masuk ke tubuh dalam jumlah sedikit, sehingga tidak seketika menimbulkan kanker.  Dibutuhkan waktu lama sampai terakumulasi, hingga cukup menimbulkan efek kanker yang mematikan.  Secara fakta, sulit sekali menghindar dari terkena/terpapar karsinogen karena memang zat ini ada di mana-mana.  Ketika keluar rumah, sulit sekali menghindar dari asap knalpot.  Meskipun bukan perokok, kita pun kadang kebagian 'jatah' asapnya. Belum lagi berbagai makanan jajanan yang diolah dengan cara yang tidak benar atau ditambahkan bahan-bahan yang berbahaya.  

Menjaga pola hidup yang sehat sejak masa muda merupakan cara terbaik mencegah timbulnya penyakit kanker di usia tua.  Selain itu, juga disarankan banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung zat anti karsinogenik atau anti kanker yang banyak terdapat secara alami di sayuran, buah-buahan, madu, dsb. 

Mencermati sifat karsinogenik pada tubuh tersebut, saya jadi coba mencocok-cocokkan (maaf kalau ternyata gak cocok) dengan sifat atau perbuatan tidak baik yang biasa ada dalam diri kita.  Iri, dengki, sombong, kikir, suka meremehkan orang, dll sepertinya bersifat karsinogen bagi tubuh kita.  Sekali melakukannya, memang tidak akan serta merta di cap kafir, durhaka, atau layak dihukum rajam/potong tangan. Tetapi bila sifat ini terus dibiarkan ada, tumbuh, berkembang dan terkumulasi dalam tubuh, bukankah hati ini juga akan mati akibat efek 'kanker' yang semakin sulit disembuhkan tersebut?

Secara manusiawi, apalagi dijaman yang serba materialistis, terkadang sulit sekali menghindari atau bahkan tanpa disadari muncul perasaan iri bila melihat orang lain lebih kaya/sukses secara materi; atau timbul perasaan sombong bila berhasil mencapai sesuatu sehingga merasa diri lebih hebat dari yang lain; atau tiba-tiba lidah terasa gatal ingin menggunjing aib orang lain; atau sayang mengeluarkan harta untuk sedekah.  Mirip seperti zat karsinogen yang banyak tersebar di sekitar kita, yang terkadang sulit untuk dihindari. 

Sangat disarankan menjaga pola hidup sehat untuk mencegah matinya hati’ akibat penyakit yang dapat menggerogoti tubuh seperti halnya kanker ini.   Salah satu caranya adalah dengan mengkonsumsi 'tombo ati (obat hati)' karena lima unsur yang ada di dalamnya sangat efektif berfungsi sebagai 'zat anti karsinogenik'.  Lima unsur itu adalah membaca Quran dengan maknanya, mendirikan shalat malam, berkumpul dengan orang-orang shaleh, memperbanyak puasa dan memperpanjang dzikir malam.  Besyukurlah bagi yang sudah ‘mengkonsumsinya’ secara konsisten.  Mohon doanya agar saya pun bisa seperti itu. Wallahualam.

*tulisan ini juga dipublikasikan di website Jamil Azzaini, Inspirator Sukses Mulia di sini

Friday, 28 March 2014

Pulang...(Tiada pertemuan tanpa perpisahan)

Telah tiba harinya...setelah tiga tahun berpetualang di Nagasaki, hari ini saatnya pulang kampung. Banyak yang bertanya, gimana perasaannya akan meninggalkan Nagasaki dan kembali ke 'dunia nyata'? Dalam dua minggu terakhir ini, hampir setiap hari diisi dengan bersilaturahmi, termasuk mengumpulkan hampir semua teman-teman Indonesia di Nagasaki.

Sejak Selasa sore, anak-anak sudah 'mengungsi' di rumah Teh Lida, salah seorang teman baik dari Bandung yang menikah dengan orang Nagaasaki. Sudah beberapa kali diajak menginap sejak rumahnya pindah ke apartmenet pemerintah. Bahagia juga melihat mereka bermain dengan yu kun, anak semata wayang Teh Lida, tanpa mereka mengerti bahwa ketika esok harinya berpisah, entah kapan lagi mereka dapat bertemu.  Terlalu banyak bantuan yang diberikan oleh Teh Lida sekeluarga, semoga Allah membalas kebaikannya.

Mulai rabu sore, penginapan berganti ke rumah Obaachan, seorang nenek asal Jepang yang tinggal seorang diri. Di sana, ia sudah menanti dengan hidangan khas Jepang dan mempersiapkan segala sesuatunya agar semuanya nyaman bermalam. Obaachan (dalam bahasa Jepang kata ini berarti nenek) ini bernama asli Aiko. Alhamdulillah, belum lama memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Aisyah atau penulisan dalam huruf katakana-nya adalah Aisa. 

Ada yang membuat saya sedikit terperanjat. Ketika saya tanya apa selama ini sudah rutin melaksanakan shalat, beliau berkata tidak karena shalat itu sangat menyulitkan. Pertama, sulit sekali berwudhu apalagi di waktu shubuh karena dapat menyiksa tubuhnya yang sudah renta. Begitupun, kadang tidak kuat berdiri terlalu lama atau bersujud dengan sempurna seperti yang telah diberitahu/dicontohkan banyak orang.  Dengan perlahan (maklum bahasa Jepang pas-pasan), saya sampaikan bahwa untuk orang yang tidak mampu karena alasan yang dibenarkan seperti sakit, sudah tua, dsb, boleh shalat 'sebisanya'.  Wudhu bisa diganti dengan tayamum, shalat berdiri bisa diganti dengan duduk, bila tidak bisa bersujud bisa dengan hanya menundukkan kepala.  Bahkan shalat dengan hanya menggunakan isyarat tetap diperbolehkan.  Yang penting: kerjakan shalat!.  Jadilah saat itu praktek tayamum dan shalat maghrib.  Saya menjadi imam, sedangkan beliau, istri dan anak-anak menjadi makmum.  Ya Allah berilah perlindungan kepada Obaachan sampai akhir hayatnya, agar tetap istiqamah dalam Islam. 

Kamis pagi, Obaachan menunda jadwalnya ke rumah sakit untuk mengantar kami ke halte bus. Sedih sekali melihat Obaachan berkali-kali mengatakan, wasurenai de ne...wasurenai de ne...(jangan lupa ya...jangan lupa ya...).  Obaachan secara khusus meminta gamis yang dipakai istri saya pada hari itu dan jaket anak-anak. Sekali lagi terharu melihatnya memeluk jaket anak-anak ketika bus yang kami tumpangi bereangkat menuju bandara Fukuoka.  Entah, kapan lagi bisa bertemu Obaachan.

Sepanjang jalan, berkecamuk berbagai macam perasaan. Terlalu banyak kenangan selama tiga tahun. Agak sedih juga melihat anak-anak yang terpaksa harus berpisah dengan teman-temannya yang baru saja mulai akrab.  Entah, apakah suatu saat diantara mereka bisa bertemu kembali. 

Tetapi diluar perasaan itu, sesungguhnya ada perasaan lain yang tidak kalah menggelora. Senaang!!! bukan karena telah berhasil menyelesaikan sekolah atau juga bukan karena akan kembali bisa merasakan makanan Indonesia lagi.  Tapi rasa senang karena akan bertemu dengan orang tua lagi selama tiga tahun.  Rasa ini telah dominan ada sejak pertama kali meninggalkan mereka. 

Jumat dinihari, dari bandara Soekarno Hatta langsung meluncur ke kemayoran.  Turun dari mobil langsung kupeluk dengan erat kedua orang tua satu persatu hingga air mata menetes. Aku sangat rindu mereka.  Teman-teman mungkin akan datang dan pergi dalam perjalanan hidup setiap manusia karena sudah sunatullah setiap pertemuan pasti memerlukan saat-saat perpisahan.  Tetapi keluarga, ibu, ayah, anak, istri/suami, kakak/adik tidak ada kata berpisah, bahkan meskipun dipisahkan jarak, waktu atau telah berbeda dunia sekalipun.

Tuesday, 18 March 2014

Jugyou sankan

Ini merupakan istilah dalam sistem pendidikan di Jepang yang kira-kira berarti kunjungan orang tua ke sekolah untuk melihat langsung proses belajar mengajar di kelas.  Berbeda dengan katei houmon (seperti yang sudah saya ceritakan disini) yang dilakukan sekali di awal tahun ajaran, jugyou sankan dilakukan beberapa kali dalam satu tahun.

Saya pernah dua kali mengikuti jugyou sankan untuk anak kelas 1 SD.  Materi pelajaran yang diberikan saat saya hadir pertama kali adalah tentang pengenalan 'chanpon' yaitu mi kuah yang merupakan makanan tradisional khas Nagasaki.  Saya akan ceritakan bagaimana cara si Ibu guru mengajar di kelas, yang lebih banyak berinteraksi ke murid sehingga seisi kelas menjadi ramai.

Bahan-bahan penyusun chanpon diuraikan di papan tulis.  Untuk menjelaskan tentang mi, si Ibu guru menerangkan mulai dari tanaman gandum, diolah di pabrik menjadi tepung sampai dibuat mi. Untuk menerangkan kamaboko (produk olahan ikan khas Jepang), Ibu guru ini menjelaskan dari ikan kemudian diolah di pabrik menjadi kamaboko.  Begitu pun cara menerangkan sayuran atau daging, selalu dimulai dari awal bahan mentahnya.

Hal yang membuat seisi kelas menjadi heboh adalah, si Ibu guru selalu mengawali dengan bertanya kepada murid. misalnya, "Siapa yang tahu, apa saja isi chanpon?" lalu banyak murid yang mengangkat tangannya. Ketika Ibu guru mempersilahkan salah satu murid menjawab, yang lain mendengarkan.  Bila ada yang merasa jawaban itu tidak tepat, murid-murid akan langsung berteriak, "saya punya jawaban lain"...

Setiap jawaban yang benar dari murid, akan digambar oleh Ibu guru!!!! ini salah satu sisi lain yang menurut saya menarik. Hebat sekali si ibu guru ini bisa dengan cepat menggambar tanaman, beralih ke gambar ikan, pabrik, kamaboko, dengan kapur berwarna-warni.  Kelas benar-benar heboh....

Adakah murid yang tidak aktif? Ada. Disinilah saya melihat peran seorang ibu yang dijalankan dengan baik oleh ibu guru.  Saat memberikan pertanyaan terkadang ia berkeliling untuk menghampiri anak yang belum pernah menjawab dan ditanya secara langsung.  Misalnya, saat anak saya belum juga menjawab karena tidak tahu apa itu chanpon, si Ibu guru langsung bertanya "kalau Hafshah sayuran apa saja yang biasa dimakan di rumah?" lalu anak saya menjawab dan terjadi dialog singkat dengan guru.  Dengan begitu, si anak tidak merasa minder karena merasa tidak pernah bisa menjawab padahal di lihat oleh orang tuanya dan orang tua teman-temannya.

Jugyou sankan kedua yang saya ikuti adalah jugyou sankan terakhir sebelum liburan sekolah, yang dilaksanan akhir Februari.  Isinya sangat menarik karena berisi penampilan/performance yang menunjukkan kemampuan setiap anak.  Ada yang menyanyi, memainkan alat musik, lompat tali, menghitung penambahan dan pengurangan dan memainkan kata.  Anak saya mendapat tugas mengambil kertas yang dipegang oleh temannya yang berisi satu kata dalam bahasa Jepang, kemudian dia diharuskan menulis huruf kanjinya.  

Apa yang dilakukan si Ibu guru? dia mengawasi penampilan setiap anak sambil memberikan semangat bila ada yang tidak bisa.  Satu lagi, pada saat ada yang menyanyi, dia mengiringi dengan piano!!!  Saya jadi berpikir, berat sekali jadi guru SD kelas 1 disini, karena selain harus bisa menerangkan dengan pendekatan yang sangat baik ke anak-anak, juga harus bisa menggambar dan memainkan piano dengan baik.  Entah kemampuan apa lagi yang harus dimiliki.  Pantas saja waktu teman saya curhat susahnya mendaftar jadi guru SMA, kemudian saya jawab sambil guyon, "jadi guru SD aja", dia dengan serius langsung menjawab "saya tidak sanggup, itu jauh lebih sulit lagi..."

Thursday, 13 March 2014

Katei houmon

Bulan Maret adalah akhir dari tahun akademik di Jepang.  Untuk tahun ini, bukan hanya bermakna sebentar lagi libur sekolah, tapi pertanda tidak lama lagi saya dan pasukan akan pulkam setelah tiga tahun di Nagasaki.  Jadi teringat, berbagai pengalaman memasukkan anak ke SD disini.  Ada beberapa program yang menurut saya baik, yang secara konsisten dilaksanakan oleh sekolah.  Diantaranya adalah 'katei houmon'.

Secara bahasa, 'katei houmon' kira-kira berarti kunjungan ke rumah.  Istilah ini saya dapatkan dari suatu program kunjungan seorang guru/wali kelas sekolah di Jepang ke setiap rumah anak muridnya untuk bertemu orang tua mereka.  Ada lagi istilah 'jugyou sankan' yang merupakan kebalikan dari katei houmon karena istilah ini berarti orang tua yang datang ke sekolah untuk melihat proses belajar mengajar di kelas.

Saya akan sharing pengalaman mengenai 'katei houmon' untuk anak pertama saya di kelas 1 SD.  Insya Allah di tulisan berikutnya saya akan berbagi tentang 'jugyou sankan'.   Di awal masuk program kelas 1 SD (bulan April) ada edaran dari sekolah yang meminta jadwal orang tua untuk kunjungan guru ke rumah.  Karena di hari kerja, ada himbauan kedua orang tua dapat meluangkan waktunya untuk menerima kunjungan guru.  Dari cerita yang pernah saya dengar, guru tersebut juga tidak masalah bila hanya diterima di teras tanpa perlu masuk ke dalam rumah seperti seorang tamu yang formal.  Orang Jepang sangat menjaga privasi, begitu informasi yang saya dengar.

Di hari dan jam yang saya usulkan, datanglah ibu guru/wali kelas anak saya ke rumah. Seperti biasa bila berhadapan dengan orang Jepang, amunisi telah saya siapkan. Kamus elektronik!!! maklum bahasa Jepang saya dan istri cuma bisa buat nawar barang di recycle shop. Sebagaimana informasi yang saya dengar, si ibu guru tersebut, setelah bilang terima kasih kepada saya sudah meluangkan waktu, langsung mengatakan pertemuan ini hanya membutuhkan waktu maksimal 10 menit sehingga tidak masalah ngobrolnya di depan pintu saja...

Saya masih agak tidak biasa menerima tamu di teras tanpa mempersilahkan masuk. Apalagi ini seorang guru dan yang akan dibicarakan terkait dengan pendidikan anak.  Karena itu tetap saja beliau saya persilahkan masuk dan siapkan teh di meja (tentu sambil lesehan di tatami), saya bisa mendapat penjelasan yang agak lengkap tentang maksud dan tujuan katei houmon ini.

Pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru di sekolah, tapi ini merupakan tugas utama orang tua.  Karena itu dibutuhkan kerjasama antara orang tua dan guru demi perkembangan anak.  Dibutuhkan informasi dari orang tua mengenai kebiasaan, kesukaan, kebutuhan khusus anak (bila ada), pantangan tertentu, dsb yang terkait dengan kebutuhannya selama di sekolah yang dimulai dari pukul 08.10-14.40.  Saat itu saya menyampaikan terutama perlunya kesabaran ekstra bagi Ibu guru karena keterbatasan bahasa Jepang anak saya dan ketidakbolehan adanya ingredient haram dalam menu makan siang.

Ada hal yang membuat saya jadi malu, si ibu guru mengatakan bahwa dia siap bila sewaktu-waktu di complain bila ternyata dia tidak bisa mendidik dengan benar. Ada buku komunikasi yang bisa menjadi jembatan antara guru dan orang tua, atau bisa datang langsung ke sekolah bila diperlukan. Tidak terasa, rari rencana pertemuan yang maksimal hanya 10 menit, menjadi obrolan hampir setengah jam. Dan saya mempunyai kesan yang baik terhadap program ini.

Friday, 7 March 2014

Uniknya proses melahirkan di Jepang

Anak ketiga saya, Aisyah Hannani Harjanto lahir di Nagasaki tanggal 20 Desember 2013.  Seperti anak pertama dan kedua, saya mendampingi proses melahirkan mulai dari mengantar istri kontrol hingga menyaksikan persalinan.  Perbedaan di bidang pelayanan dan biaya melahirkan antara Jepang dan Indonesia tidak perlulah dibahas panjang lebar.  Seperti layanan fasilitas umum lainnya, harus diakui kita memang masih kurang maksimal dalam hal memberikan pelayanan kepada konsumen, apalagi kalau dikaitkan dengan dukungan finansial dari pemerintah seperti yang telah saya tulis disini sebelumnya.

Ada beberapa keunikan yang tidak saya temui di Indonesia.  Setelah dokter menyatakan positif hamil, istri saya diharuskan melapor ke city hall (kalau di Indonesia mungkin kantor walikota ya) .  Mereka seperti ingin memastikan kondisi ibu dan anak yang dikandung tetap terjaga.  Si ibu diberikan kupon untuk pemeriksaan rutin di dokter yang dengan kupon itu bayarnya jadi jauh lebih murah.  

Untuk mencegah terjadinya ada ibu hamil yang berdiri di bus/kereta, diberikan semacam badge/tanda yang jelas dapat terlihat dan terbaca orang bahwa orang itu sedang hamil sehingga mendapat prioritas untuk duduk.  Kepekaan penumpang disini bolehlah dicontoh.  Pernah suatu kali istri saya naik bus yang penuh, dan harus berdiri di tengah.  Tiba-tiba ada seorang Bapak yang menegur dengan keras pemuda disebelah istri saya yang sedang duduk agar segera berdiri dan memberikan tempat duduk.  Dengan perasaan malu, pemuda tersebut berdiri sambil berulang kali minta maaf kepada istri saya.

Setelah melahirkan, ibu dan anaknya harus tinggal di rumah sakit minimal 5 hari untuk persalinan normal dan 9 hari untuk persalinan cesar.  Selama tinggal disana dibuatlah program-program untuk ibu merawat bayinya, karena umumnya tidak ada yang punya asisten rumah tangga atau baby sitter disini.  Program yang melibatkan saya adalah memandikan bayi.  Jadi, sebagai bapaknya saya diharuskan menyaksikan dan membantu istri saya memandikan bayi. Hmmm...sejujurnya ini tidak pernah terjadi sebelumnya.

Hal yang paling menarik buat saya adalah saat sedang mengisi formulir yang berkaitan dengan data diri, agak terkejut juga tidak ada kolom 'suami', yang ada adalah 'kepala keluarga'.  Ternyata, kolom itu tidak harus diisi dengan nama suami, bisa nama ayahnya, ibunya, temannya atau siapaun selain dirinya.  Pantas saja ketika beberapa kali istri saya harus periksa rutin ke rumah sakit sendiri, karena kesibukan saya di kampus, perawat maupun dokternya dengan hati-hati bertanya, 'nanti kalau melahirkan apa ada orang yang akan mengantar ke rumah sakit?'  Tentu saja istri saya langsung menjawab, 'iya, suami saya akan mengantar'.  Mereka dengan spontan langsung berkata, 'oooo, ada suaminya ya yokatta ne'.....Tinggal istri saya yang bengong...

*yokatta ne..istilah yang kira-kira merujuk ke arti, aahh leganya, atau ooo untunglah...

Wednesday, 5 March 2014

Banyak anak banyak subsidi

Ada kebiasaan di lab yang hampir tiap hari dilakukan bersama, yaitu makan siang bersama dan nge-teh bareng di sekitar jam 3-4 siang.  Selalu ada saja yang dibicarakan, mulai dari yang serius sampai yang cuma buat guyonan.  Karena kemampuan bahasa Jepang yang sangat-sangat mepet, kalau ada yang ingin diceritakan atau minta pendapat saya mereka harus menjelaskan pelan-pelan, mirip ngobrol dengan anak-anak.

Kemarin ada satu topik menarik yang dibicarakan yaitu tentang trend dan dilema wanita Jepang antara memilih karir atau berumah tangga.  Jadi ingat beberapa waktu lalu detik.com menurunkan berita tentang menurunnya angka lahir bayi dan merebaknya sindrom bujangan di Jepang.  Saat ini saya mendengar langsung dari teman-teman mahasiswa Jepang yang belum menikah dan sensei saya (seorang Associate Professor wanita) yang telah menikah dan mempunyai satu anak berusia 5 tahun.

Ada kesamaan dengan berita yang ditulis detik.com bahwa telah ada upaya dari pemerintah Jepang untuk mengurangi sindrom bujangan dan meningkat angka kelahiran anak, karena kekuatiran menurunnya populasi penduduk.  Pemerintah memberikan subsidi kepada keluarga yang melahirkan berupa pemberian bantuan persalinan yang besarnya 420,000 yen (Rp 42 juta kalau 1 yen = Rp 100,-).  Begitu anak itu lahir, setiap bulan akan mendapat 'uang saku' antara 10,000-15,000 yen tergantung jumlah anak.  Ketiadaan pembantu rumah tangga diatasi pemerintah dengan mendirikan day care dengan menyediakan subsidi bagi yang tidak mampu. Belum lagi fasilitas lainnya seperti kesehatan dan jaminan pendidikan hingga setingkat SMP.  Luar biasanya, pemberian fasilitas ini tidak membedakan apakah dia orang asing atau orang Jepang.

Apakah ini cukup efektif? Mungkin ini hanya efektif untuk mahasiswa asing seperti saya he he he.  Karena dengan kelahiran anak ketiga bulan Desember berarti bertambah subsidi untuk keluarga saya.  Sampai-sampai di kalangan mahasiswa asing disini ada ungkapan, banyak anak banyak subsidi.  Tetapi untuk keseluruhan penduduk Jepang, menurut salah seorang Professor yang lain sepertinya belum berhasil. Parameternya adalah jumlah anak SD saat ini jauh lebih sedikit dibandingkan jaman dia sekolah. Apalagi ada media yang pernah menulis bahwa tahun 2012 penjualan popok dewasa lebih besar daripada popok bayi.

Hal yang tidak ditulis oleh detik.com adalah ternyata meskipun pemerintah Jepang mendorong peningkatan angka kelahiran, faktanya mereka juga mendorong para wanita untuk terus bekerja meningkatkan karirnya.  Sensei saya bercerita bahwa sulit sekali baginya untuk mengajukan cuti melahirkan, dengan adanya tuntutan untuk segera menjadi Professor penuh. Bila dia cuti, tidak ada yang bisa menggantikan karena masing-masing Professor memiliki bidang keahlian yang berbeda. Entah dengan alasan apa, dua orang sensei perempuan lain di fakultas ini malah belum menikah.

Beberapa teman satu lab yang perempuan juga mengatakan tidak ingin terburu-buru menikah, bahkan ada yang belum terlintas sedikit pun tentang pernikahan atau keluarga.  Ada kecenderungan kalau yang cepat menikah itu yang pendidikannya rendah dan pergaulannya kurang, sedangkan wanita pintar dan aktif akan lebih memilih menunda.  Begitu kata mereka.  Bahkan ada yang mengatakan bahwa menikah, punya anak dan suami/istri merupakan gangguan dalam menikmati masa muda yang indah, yang penuh kebebasan.

Begitulah salah satu problem sosial, diantara berbagai problem lain, yang mungkin tidak hanya terjadi di Jepang tapi juga di negara maju lainnya.  Mereka bisa saja dikagumi karena maju secara teknologi, tetapi sesungguhnya mengalami kekosongan hati.   Berbagai persoalan hidup siap menanti ketika tidak ada aturan Ilahi yang ditaati.  Sungguh beruntung kita yang masih memiliki keimanan di hati, segalanya dilakukan hanya untuk mengabdi kepada Zat Yang Maha Pemberi.