Pages

Tuesday, 29 July 2014

Rembulan di langit hatiku: A tribute...

Suatu malam di hari kedua tahun baru 2013.  Seperti biasa, tempat terbaik adalah tetap di laboratorium (lab), bukan karena hobi eksperimen tapi salah satu strategi penghematan biaya listrik, air, dan gas, apalagi di musim dingin yang semakin menggigit.  Strategi ini juga memungkinkan tidak perlu menggunakan smartphone atau koneksi internet di apato (apartment) karena wifi sangat kencang di kampus.  Tidak disangsikan lagi, lab adalah tempat tinggal terfavorit, sudah ada ijin dari Sensei buat mahasiswa bahkan bila setiap hari ingin menginap. Hari ini masih suasana libur tahun baru, salah satu momen sakral buat masyarakat Jepang, sehingga liburnya tidak cukup hanya tanggal 1 Januari.

Malam ini, seperti juga malam-malam sebelumnya, chatting, free call, free video call via YM, atau skype  (tergantung kekuatan jaringan di Bogor) dilakukan bukan hanya untuk melepas rindu, tapi juga menguatkan hati.  Di seberang sana, kali ini dirimu memberi kabar baik dan kabar kurang baik.  Kabar baiknya, anak-anak dalam keadaan sehat dan tetap kangen abinya.  Alhamdulillah. Kabar kurang baiknya, tidak ada ijin dari atasan untuk kembali lagi ke Nagasaki.  Alasannya cukup jelas dan masuk akal, "bagaimana kamu dan anak-anak akan hidup di sana, sementara suamimu tidak punya beasiswa? membiayai dirinya sendiri saja belum tentu bisa apalagi kalau ditambah keluarga?" demikian ucap atasanmu.

Meskipun tidak terlihat, aku tahu ada air mata yang tidak terbendung.  Hari-hari terakhir ini perasaan putus asa memang sudah ada diambang pintu.  Seorang teman mengatakan, istilah dalam bahasa Jepangnya 'yaruki ga arimasen' atau 'yaruki ga nai'.  Kalau orang Jepang sudah mengucapkan kalimat itu, berarti menunjukkan dia sudah tidak ada motivasi atau semangat lagi.  Kata-kata itu sudah sempat diucapkan ke Sensei, hingga beliau sangat terkejut.  Bagaimana lagi, saat dirimu selesai Master akhir September 2012, itu berarti tidak ada lagi sumber beasiswa.  Tapi keputusan sudah dibuat, sekolah harus tetap dilanjutkan mesku saat ini belum ada financial support, sementara dirimu dan anak-anak pulang ke Indonesia.

Usaha bukannya tidak dilakukan.  Entah sudah berapa kali aplikasi beasiswa dan lamaran kerja part time diajukan, tapi tidak ada yang diterima.  "Wajar aja, dengan kemampuan akademik yang pas-pasan, bahasa Inggris gak karuan dan kemampuan bahasa Jepang awut-awutan, mana mungkin bisa dapat beasiswa atau part time di sini?" pikiran itu selalu saja menghantui.  Hampir semua orang yang mengetahui berkata, "nekat amat sih tetep keukeuh ngambil S2 dengan kondisi kayak begitu".

Tetapi kata-kata dari dirimu ini telah membuat motivasi terus tegak, meski tidak bisa dikatakan kuat.

"Apapun yang akan terjadi, ummi dan anak-anak akan tetap datang ke Nagasaki sebelum Maret.  Dulu Abi sudah memenuhi janji membawa anak-anak ke Nagasaki, sekarang Ummi akan menetapi janji membawa mereka sebelum berpisah dengan Abi-nya lebih dari 5 bulan."  dirimu berkata sambil agak terisak.

"Lalu bagaimana dengan hidup di sini? bayaran kuliah sekitar Rp 30 juta per semester, biaya hidup sekeluarga yang paling minimal Rp 12 juta per bulan" akupun mulai sangsi.

"Bukan Abi yang ngasih rejeki ke ummi dan anak-anak. Setiap orang akan diberikan dan sudah punya rejeki masing-masing. Buat apa kuatir?  Kita masih punya Allah. Menuntut ilmu kan ibadah, buat apa kuatir? Kalau memang Allah mentakdirkan abi tidak bisa selesai S2, kita pulang sama-sama dari Nagasaki.  Tidak perlu malu, sampai kapanpun ummi dan anak-anak akan tetap bangga sama abi.  Kalau orang kantor gak ijinin, ya udah ummi aka ambil cuti diluar tanggungan negara aja. Buat apa kuatir? Ummi bisa bantu abi dengan ikut kerja part time disana, jadi apapun termasuk jadi cleaning service seperti yang pernah dilakukan teman dari Kenya" kata-kata itu keluar bersamaan dengan air mata.

Iya, buat apa kuatir. Allah tidak akan pernah memberikan beban diluar kesanggupan manusia.  Artinya, cobaan saat ini masih dalam batas kemampuan, jangan terus-terusan mengeluh dan malas berusaha, apalagi putus asa berdoa.  Teorinya sih begitu.  Tapi tetap saja, rasa kuatir kadang-kadang berhasil menjebol pertahanan.

Hari itu pun tiba.  Tanggal 16 Feb 2013, dirimu dan anak-anak mendarat di Kansai International Airport, Osaka.  Sengaja bukan di Fukuoka atau langsung ke Nagasaki. "Bukan untuk pemborosan.  Kebetulan dapat tiket promo Malaysia Airlines dari Jakarta, yang kalau ditotal tetap lebih murah turun dan menginap di Osaka, ditambah liburan sama-sama ke Universal Studio"

Hari itu, dirimu menetapi janji untuk membawa anak-anak tidak berpisah lebih dari 5 bulan dengan abinya.  Rasa rindu tidak bertemu dua bidadari kecil langsung terobati begitu mereka berebutan memeluk dengan erat.  Tetapi, persoalan dan tantangan besar telah menanti.  Bagaimana nanti kelanjutan hidup kita di sini? "Ya Allah, jangan biarkan istri dan anak-anak kelaparan" bisikku dalam doa.  "Ya Allah, jangan biarkan kami terjerat hutang" begitu salah satu isi doamu.

Bukti kekuasaan Allah secara perlahan benar-benar hadir menyapa kami sekeluarga.  Sebelum sampai di Nagasaki, seorang petugas di supermarket besar mengabarkan kalau aku diterima kerja part time dan bisa mulai kerja tanggal 18 Feb.  Subhanallah, meskipun tetap tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidup, tetapi bisa menggantikan kerja part time di perusahaan ekspedisi yang tidak menentu saat ini. Alhamdulillah. Setelah dihitung penghasilan yang akan didapat, kira-kira itu hanya cukup untuk biaya makan sekeluarga.

"Allah langsung mengabulkan doaku untuk tidak membiarkan ummi dan anak-anak kelaparan" secercah harapan dan rasa optimis mulai timbul.  Bukankan Allah berjanji akan bersama orang-orang menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong?

Ketika dirimu mengatakan ingin program punya anak, perasaan kuatir langsung menggoda dengan sangat kuat.  Dengan anak yang ada sekarang saja, kita masih kesulitan bagaimana kalau menambah anak?

Tetapi kekuatiran itu berubah menjadi keyakinan ketika keesokannya Sensei menawarkan dirimu untuk kerja part time di lab membantu penelitiannya.  Tentu saja ini adalah kerja part time terbaik untuk seorang lulusan S2 Jepang daripada menjadi cleaning service atau kerja di supermarket atau yang lainnya.  "Yakin saja bahwa setiap anak punya rejeki dari Yang Maha Pemberi" dirimu selalu menguatkan untuk mengurangi kekuatiran.

Ketika beberapa waktu kemudian dirimu mengatakan dari hasil tes urine sepertinya telah positif mengandung anak yang ketiga, perasaan senang tumpah ruah di apartmen kami.  Anak-anak sudah heboh menyambut adik baru.  Tapi, di Jepang yang berhak mengatakan positif hamil adalah seorang dokter, sehingga harus dilakukan pemeriksaan ke rumah sakit.  Bila benar positif, harus mendaftarkan kehamilannya ke kantor walikota dan harus melakukan pemeriksaan rutin di rumah sakit.  Sudah terbayang biaya yang harus dikeluarkan untuk periksa rutin dan informasi bahwa biaya melahirkan sekitar Rp 50 juta.  hmmm......

Seperti tidak ingin membiarkan rasa kuatir ini kembali muncul, keesokan harinya petugas dari international student center mengabarkan bahwa aku berhasil mendapat beasiswa Hashiya untuk biaya hidup.  Sujud syukur.  Ini adalah kesempatan terakhir karena setelah ini tidak mungkin lagi mengajukan beasiswa.  Sekali lagi Allah menunjukkan bahwa kekuasaan-Nya tidak terbatas.

Kemudian, saat dokter mengatakan bahwa dirimu benar positif mengandung anak ketiga, Allah kembali menghamparkan rejeki-Nya.  Teman-teman di lab memberikan ucapan selamat via grup di Line bahwa semester tiga ini aku bebas biaya SPP.  Demikian pula ketika Aisyah lahir tanggal 20 Desember, selain ucapan selamat atas kelahiran putri ketiga kami, teman-teman memberikan kabar yang sama bahwa semester empat aku juga bebas biaya SPP.  Doa-doa yang keluar dari lisan dirimu terkabul.  Allah memberikan kesempatan kepadaku untuk menyelesaikan S2 tanpa harus berhutang.

Detail perjalanan hidup itu masih membekas. Semua menjadi lebih mudah ketika dirimu ada disampingku.  Kebahagiaan menyapa saat kita yakin kepada Yang Maha Kuasa.  Keyakinan takkan terusik bila kita mendekat kepada Sang Khalik.

Hari ini, 29 Juli 2014, tepat sembilan tahun akad terucap di hadapan orang tuamu.  Semoga dirimu akan selalu menjadi rembulan di langit hatiku.

Rembulan di langit hatiku
menyalalah engkau selalu
temani kemana meskiku pergi menempuh tempat kita tuju

Doakanlah ku di shalat malammu
pelita perjalananku
Doakanlah ku di shalat malammu
rembulan di langit hatiku

(seismic)

Thursday, 24 July 2014

Sebelum mulai shalat

Biasanya seorang imam akan meminta makmum untuk meluruskan dan merapatkan shaf atau kadang-kadang juga meminta yang membawa alat komunikasi agar dinonaktifkan atau disilent, sesaat sebelum mulai shalat.  Tetapi ada yang beda saat shalat dzuhur kemarin.  Selain mengatakan hal tersebut, imam juga berpesan kepada makmum untuk melakukan tiga hal berikut.

Pertama, ingatlah bahwa Allah Maha Melihat apa saja yang kita lakukan. Karena itu shalatlah dengan benar, jangan melakukan gerakan yang pada akhirnya memalingkan kekhusyu'an.  Apapun yang kita lakukan, Allah sedang menatap setiap gerakan kita.

Kedua, ingatlah bahwa Allah Maha Mendengar apa saja yang kita ucapkan.  Karena itu bacalah setiap bacaan shalat atau ayat quran dengan tartil, tidak terburu-buru, yang justru akan mengubah arti bacaan itu.  Apapun yang kita ucapkan, Allah mendengar.

Ketiga, ingatlah bahwa Allah Maha Mengetahui, termasuk apa yang ada dalam hati kita.  Karena itu hindari memikirkan hal yang macam-macam yang akan menghilangkan konsentrasi shalat yang sedang kita kerjakan.  Apapaun yang kita pikirkan, Allah pasti mengetahuinya.

Sejujurnya, ketiga nasehat itu mak jleb banget. Sangat mengena. Betapa selama ini sering sekali pikiran berkelana kesana kemari, ke alam lain tanpa sadar bahwa saya sedang menghadap Zat Yang Maha Tahu, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, yang mengetahui keberadaan seekor semut hitam di atas batu yang sangat hitam di malam yang gelap gulita.  Kadang di waktu shubuh, pikiran mengembara ke urusan rumah, anak dan istri, ketika dzuhur memikirkan urusan pekerjaan yang belum selesai, saat ashar sibuk merencanakan apa yang akan dilakukan saat pulang, shalat maghrib dan isya sibuk memikirkan makanan, bermain dengan anak, dsb.

Ah, ternyata masih sangat banyak yang harus saya perbaiki, padahal shalat lah yang membedakan seseorang itu muslim atau kafir, shalat juga yang pertama ditanya oleh Allah di hari akhir kelak dan shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.  Bila shalat saya masih gak karuan???? mudah-mudahan masih belum terlambat untuk berbenah.

Thursday, 17 July 2014

Berkah Ramadhan

Ramadhan segera memasuki fase terakhir.  Ada yang telah bersiap-siap menyambut lebaran, berkemas untuk pulang kampung atau masih disibukkan dengan undangan berbuka puasa bersama.  Tetapi, tidak sedikit juga yang semakin giat beribadah demi meraih kemuliaan malam lailatul qadr.  Kita termasuk yang mana? silahkan menghisab diri, merenungi perjalanan hidup dan kesempatan meraih pengampunan di bulan suci serta bagaimana kita memanfaatkan setiap detik Ramadhan.

Anyway, setiap orang mungkin punya pengalaman tersendiri selama bulan Ramadhan.  Ini memang bulan yang sangat istimewa, yang Rasulullah gambarkan andai kita tahu keistimewaannya tentu setiap orang akan berharap sepanjang tahun selalu Ramadhan.

Sebelum masuk Ramadhan, saya punya PR besar yang agak kuatir bisa diselesaikan, yaitu mengajarkan putri pertama (Chacha, 7.5 tahun) dan kedua (Fiya, 5 tahun) saya berpuasa.  Maklum, selama tiga tahun di Nagasaki belum pernah sekalipun mereka berpuasa. Bukan apa-apa, lingkungan sangat mempengaruhi mental mereka.  Tahun lalu sebenarnya saya sudah mencoba melatih Chacha berpuasa tetapi di sekolah selalu ada makan siang bersama sehingga dia tidak mau beda dengan teman-temannya karena itu berarti harus menjelaskan.  Sesuatu yang masih sangat sulit dilakukan, entah karena kesulitan bahasa atau faktor lainnya.

Persiapan dilakukan dengan memberi penjelasan tentang puasa, seperti harus bangun sahur sebelum shubuh dan tidak boleh makan dan minum sampai maghrib.  Terus terang, saya tidak yakin apakah mereka akan bisa bangun sahur dan tahan tidak makan minum sampai maghrib.  Hari pertama puasa mereka berdua kompak menangis tidak mau dibangunkan sahur.  Butuh waktu sekitar setengah jam hanya untuk membangunkan dan mendiamkan tangisan mereka.

Hari pertama, kami pergi melawat sahabat baik kami selama di Nagasaki yang meninggal tepat di tanggal 1 Ramadhan di kediamannya di daerah Ciputat.  Tentu saja melakukan perjalanan di saat terik bulan Ramadhan terasa lebih lelah dibanding hari biasa.  Di tengah perjalanan, Fiya sudah menyerah minta minum. Chacha? ketika sampai di rumah, selepas shalat dzuhur dia mulai menangis tidak tahan haus dan lapar.  Karena tidak tega, saya mengijinkannya untuk berbuka.

Sedih juga melihat kenyataan saya belum berhasil mengajarkan anak-anak berpuasa.  Saya adukan kelemahan saya ini kepada Sang Pencipta manusia.  Saya masih bisa memaklumi untuk Fiya karena masih 5 tahun, tetapi Chacha sudah cukup besar, seharusnya sudah kuat berpuasa.  Ketika mengijinkan berbuka, saya hanya bisa berpesan agar besok tetap coba berpuasa.

Hari kedua.  Seperti hari pertama, keduanya masih kompak menangis dibangunkan sahur.  Hmmm, teringat ketika di rumah dulu, saya sering dimarahin Ibu dan Bapak karena sulit sekali dibangunkan sahur. Like father like daughters.  Membangunkan sahur benar-benar menguji kesabaran Umminya.

Ketika sampai di rumah sepulang kerja, hal pertama yang saya ingin tahu adalah mereka sudah buka sejak jam berapakah? Saat parkir motor, Fiya langsung menyambut dengan tawa khasnya sambil teriak, "Abi, Fiya udah buka dari jam 11" hmmmm, lumayan ada kemajuan... Kemana Chacha? koq tumben gak ada suara khasnya menyambut kepulangan abinya. Setelah masuk ke dalam rumah, saya lihat Chacha tergelatak di tikar dengan wajah kuyu, sambil memegang perutnya. "Abi, Chacha belum buka, tapi sekarang perut Chacha sakit, terus lehernya panas.  Mungkin karena lapar sama haus ya".

Saya langsung mendatangi dan menyemangatinya, berusaha ikut merasakan apa yang sedang dia rasakan.  Perhatiannya berusaha saya alihkan dengan apa yang dia suka.  Bercanda, main game kesukaannya, ajak jalan-jalan naik motor, dsb sampai tiba waktu maghrib. Alhamdulillah, Chacha kuat puasa sampai maghrib.  Subhanallah...

Hari ketiga, keempat dan kelima masih ada keluhan perut sakit atau leher panas, tapi tetap kuat berpuasa sampai maghrib.  Ketika mulai masuk sekolah pun sama sekali tidak ada keluhan lagi keluar darinya.  Lingkungan sekolahnya (SD Insantama) telah banyak membantu mengajarkan Chacha tentang puasa dan bagaimana mengisi kegiatan di bulan Ramadhan.  Meskipun masih saja masih saja dihadapkan pada problem membangunkan sahur, saya tetap bersyukur Chacha terbiasa berpuasa. Fiya? biarlah dia masih berfluktuasi jam berbukanya. Kemarin dia laporan buka puasa jam 4 sore, karena gak tahan lihat pisang goreng.....

Mendengar suara tangisanmu, berat rasanya mengganggu tidur lelapmu
tapi akan lebih berat lagi bila engkau tidak dibekali sejak dini
Kelak engkau akan tahu betapa besar kasih sayangku
ketika engkau telah mampu memahami perkataan mulia sang Nabi:
"Sahur adalah berkah, oleh karena itu janganlah kalian meninggalkannya meskipun dengan menelan seteguk air.  Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya memberikan shalawat kepada orang-orang yang makan sahur (HR. Ahmad)"

Sunday, 13 July 2014

Gaza malam ini...

Hampir seminggu terakhir ini umat Islam dikejutkan oleh kabar dari saudara-saudaranya di bumi Palestina.  Pasukan zionis Israel tanpa ada sedikitpun rasa kemanusian, yang mungkin sudah menjadi sifat dasarnya, membantai anak-anak, wanita, orang tua dan rakyat sipil tak berdosa.  Alasan awalnya membalas kematian tiga orang warga Israel yang menurut klaim mereka dibunuh warga Palestina meskipun tidak ada bukti yang mendukung.  Rudal-rudal dan serangan udara dengan target yang membabi buta telah membuat syahid puluhan, bahkan ratusan rakyat Palestina.  Belakangan alasannya berganti lagi, pejabat pemerintah Israel menyatakan akan memperluas operasi dengan menyiapkan 40.000 tentara cadangan untuk mendukung tentara reguler dalam melakukan serangan darat sampai Hamas menghentikan serangan roketnya.

Siapapun akan terusik nuraninya melihat kebiadaban yang dipertontonkan kaum Yahudi ini, yang bukan pertama kali mengotori kesucian bulan Ramadhan.  Rudal dan senjata mereka diarahkan ke orang-orang lemah tak bersenjata, rakyat sipil yang tidak tahu apa-apa, yang sedang menikmati bulan puasa.  Foto-foto yang beredar luas di media sosial sungguh sangat menyayat hati.  Maha Benar Allah yang telah berfirman sejak lebih dari 14 abad yang lalu bahwa orang-orang Yahudi tidak akan pernah ridho hingga semua mengikuti ajaran mereka.

Ada salah satu foto yang beredar luas yang salah satunya menampilkan perkataan orang Palestina yang berkata bahwa mereka tidak akan meninggalkan Palestina, bagaimanapun kondisinya.  Karena jika mereka pergi, lalu siapa yang akan menjaga Al Aqsa.  Mereka rela mewakili milyaran umat Islam yang penguasanya masih saja lebih banyak berdiam diri menyaksikan kekejian Israel, demi tanah suci kaum muslimin.  

Malu rasanya melihat kenyataan bahwa kita disini masih bisa tertawa, sementara mereka berselimut duka.  Jika kita disini kadang untuk bangun sahur saja masih berkeluh kesah, mereka disana sahur dalam keadaan yang sangat gelisah.  Bila kita disini berbuka dengan gembira dengan makanan yang berlimpah, mereka disana berbuka dalam kondisi berduka, bahkan banyak yang sahur di dunia dan berbuka di akhirat.

Tidakkah hati kita tersentuh untuk ikut membantu meringankan beban mereka? ditingkat penguasa, tidak ada alasan untuk berdiam diri lagi.  Kemana pasukan militer kaum muslimin yang dimasa pemerintahan Islam dulu pernah dikirimkan untuk membela kehormatan seorang muslimah yang dilecehkan yahudi? Sungguh tidak masuk akal ada sebuah negara kecil yang bisa bertindak semena-mena dan dibiarkan sejak lama tanpa ada intervensi militer dari negara-negara lainnya. Ah, siapapun yang mau berpikir objektif akan mengetahui jawabannya.

Setidaknya di level kita, bantulah apa yang bisa dilakukan.  Untaian permohonan untuk keamanan, keselamatan, perlindungan dan kemenangan bagi rakyat Palestina sudah semestinya ada dalam doa yang kita panjatkan kepada Penguasa Alam Semesta.  Tapi itu saja tentu belumlah cukup. Salah satu ciri orang bertakwa yang digambarkan Allah dalam surat Al Imran 133-134 adalah menafkahkan hartanya baik di kala lapang maupun sempit.  Sesempit apapun kondisi kita saat ini, apalagi yang sedang diberikan kelapangan rejeki, segeralah salurkan harta untuk membantu rakyat Palestina.

Banyak lembaga-lembaga terpercaya yang menyalurkan bantuan langsung ke Gaza.  Tidak ada alasan lagi untuk menunda di bulan yang mulia.  Sungguh, berapapun yang kita keluarkan sejatinya belumlah sebanding dengan yang dilakukan saudara-saudara kita disana.  Mereka yang merindukan syahid, mereka yang setia menjaga Al Aqsa, mereka yang memastikan tidak akan pernah menyerah, di Gaza malam ini.  We will not go down, in Gaza tonight.

Thursday, 3 July 2014

Kabar duka di awal Ramadhan

Awal Ramadhan ini menyisakan kesedihan.  Di saat sedang makan sahur di hari pertama puasa, dapat kabar duka meninggalnya Dr. Endang Pujiyati yang sering saya, istri dan anak-anak panggil bude Endang.  Beliau adalah tetangga Indonesia terdekat selama tiga tahun tinggal di Nagasaki.  Ketika pertama kali istri saya hendak berangkat ke Nagasaki, bude Endang lah yang dihubungi dan kemudian banyak membantu persiapan serta adaptasi saat pertama tiba.  Istri saya menceritakan bahwa ketika sampai di Nagasaki, bude sedang hamil tujuh bulan anak terakhirnya (Michiko chan).  Bude sering mengajak jalan-jalan menunjukkan tempat-tempat untuk belanja yang murah, mencari makanan halal, dsb agar lebih mudah beradaptasi.

Ketika saya dan anak-anak datang, kami bertetangga sangat dekat, hanya berjarak 20an meter sehingga tidak heran kami begitu dekat, saling berkunjung, tuker-tukeran masakan, jalan-jalan bersama ketika libur tiba, dsb.  Bahkan ketika saya diminta teman-teman menjadi ketua PPI, bude Endang saya 'paksa' menjadi bendahara, sehingga kami sering berdiskusi bersama tentang ke-PPI-an.

Bude Endang memang punya riwayat penyakit jantung.  Saya  tidak akan melupakan ketika bude harus melaksanakan operasi jantung, operasi yang kedua di Nagasaki setelah sebelumnya operasi pengangkatan 'thymoma' (saya kurang yakin sama namanya), beliau meminta saya dan istri untuk menemani karena Pak hendra, suami bude harus mengantar ketiga anak mereka.  Jadilah, saya dan istri yang menemani dan ikut mendorong tempat tidur bude sebelum masuk ke kamar operasi, kami juga diminta melihat jalannya operasi dari ruang tunggu, hingga yang dilaporkan oleh Dokter yang membedah tentang kemajuan penanganan penyakit pasca operasi.

Keluarga saya dan bude juga memiliki waktu kepulangan yang sama karena sama-sama di wisuda di bulan Maret.  Bedanya saya pulang tanggal 28 Maret, sedangkan bude sekeluarga 1 April, dan sempat jalan-jalan dulu ke Tokyo.  Tetapi kami mengirim barang-barang di kontainer yang sama, sehingga setelah sampai di Indonesia pun kami masih saling berkomunikasi.

Sekitar tanggal 12 Juni terakhir kami berkomunikasi via whatsapp karena bude posting di FBnya sedang di rawat.  Ketika itu bude bilang akan pulang hari Jumat (13 Juni). Banyak hal yang kami bicarakan ketika itu, mulai dari sekolah anak-anak rencana ke depan dll.

Kabar meninggalnya bude tanggal 29 Juni pukul 12.45 dinihari, tepat di tanggal 1 Ramadhan sungguh mengejutkan.  Ketika kami datang melayat kerumahnya (hal yang membuat kami makin sedih karena datang ke rumah bude disaat hanya dapat melihat jasad bude yang telah terbujur kaku), pak hendra cerita tentang penyakit bude setelah pulang ke rumah tanggal 13 Juni itu yang ternyata tak kunjung sembuh hingga Allah memanggilnya.

Manusia punya berjuta rencana, tetapi Allah lah sebaik-baik pembuat rencana. Allah jauh lebih sayang bude. Allah menghentikan seluruh penderitaan bude akibat penyakit yang telah lama dideritanya. Bude adalah seorang ibu yang luar biasa, istri yang sangat penurut, penuntut ilmu yang sabar, tetangga, teman dan saudara yang baik.  Ketika pak hendra membukaan penutup muka di atas wajah jenazah bude, subhanallah, kami melihat senyum di wajah bude.  Semoga Allah mengampuni dosa-dosa bude, memberikan tempat terbaik di sisi-Nya, dan semoga pak Hendra, Sabrina, Naufal dan Michiko diberikan kesabaran dalam menerima ketetapan-Nya ini. Innalillaahi wa innailaihi rajiun.  Selamat jalan Dr. Endang Pujiyati.