Pages

Monday, 11 August 2014

Kebiasaan

Ada banyak cerita menarik dari seseorang yang pulang dari tanah suci, apalagi umrah di hari-hari terakhir Ramadhan.  Siapaun akan merindukan mengucapkan doa saat malam lailatul qadr dan di tempat terbaik melaksanakan ibadah (masjidil haram).  Menurut cerita, di sepuluh malam terkahir Ramadhan tidak ada yang melewatkan dengan tidur. Tarawih satu juz dimulai pukul 21.00an dan berakhir hingga sekitar pukul 24.00 .  Selepas istirahat hampir satu jam, lanjut shalat tahajud hingga pukul 3.00, lalu sahur dan shalat shubuh.  Tidur dilakukan setelah shalat dhuha sampai menjelang shalat dzuhur, yang paling banyak 2 jam.

Sesampai di tanah air, kebiasaan tidak tidur semalam masih terbawa.  Begitulah, sesuatu yang awalnya terasa berat, ketika dilakukan secara rutin bisa menjadi sesuatu yang biasa saja.  Orang yang terbiasa puasa senin-kamis akan menyambut ramadhan dengan lebih bergembira dibanding yang tidak biasa; yang punya kebiasaan shalat berjamaah akan merasa berat ketika meninggalkannya; yang sudah rutin mengalokasikan hartanya untuk zakat, infaq dan shadaqah tidak akan merasa berat mengeluarkan berapapun besarnya. 

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jepang bersama dua bidadari kecil yang saat itu berusia 4 dan 1.5 tahun, saya tidak terbayang bagaimana keduanya akan bersosialisasi dengan teman-teman sebaya dengan perbedaan bahasa.  Tetapi setelah 6 bulan ditempatkan di  hoikuen (daycare), mereka bisa akrab dengan teman-temanya karena setiap hari dibiasakan berkomunikasi menggunakan bahasa disana.

Demikian pula yang mempunyai kebiasaan buruk, sulit sekali melepaskannya.  Saya pernah mempunyai asisten rumah tangga yang ternyata suka mengambil barang milik orang lain tanpa ijin.  Ketika kami ajak ke rumah orang tua, banyak barang-barang 'nganggur' seperti HP, uang di saku dan di celengan, dll diambilnya dengan alasan yang aneh 'nemu'.  Hebatnya, selama seminggu melakukan aksinya tidak ada satupun orang yang memergokinya.

Orang-orang hebat, baik dalam hal baik atau buruk, umumnya bisa melakukan aktifitas tersebut setelah melakukannya berkali-kali atau menjadikan aktifitas tersebut sebagai kebiasaannya.  Istilah yang sering digunakan adalah tergantung 'jam terbang'.  Kebiasaan baik perlu dilakukan sejak masih muda, sehat dan kuat, agar ketika fisik sudah melemah dan tidak mampu lagi melakukannya, berniat melakukannya saja akan dihitung sebagai pahala.  Atau jikapun tiba-tiba umur didunia sudah berakhir, nyawa kita diambil ketika sedang melakukan kebiasaan baik. Sayang sekali jika sewaktu muda, sehat dan kuat malah digunakan untuk melakukan kebiasaan yang buruk.  Wallahualam

Monday, 4 August 2014

Mudik

Salah satu ciri khas berlebaran di Indonesia adalah ritual mudik atau pulang kampung yang tujuan mulianya adalah untuk bersilaturahim dengan orang tua, keluarga dan/atau kerabat.  Tahun ini, lebaran pertama setelah tiga tahun tidak berlebaran bersama keluarga besar, saya sekeluarga mudik ke Muara Dua, yang termasuk dalam kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, propinsi Sumatera Selatan.  Perjalanan normal dari Bogor dengan membawa kendaraan sendiri ditempuh dalam waktu minimal 16 jam.

Dengan perjalanan yang sedemikan panjang dan melelahkan itu, tentu saja butuh persiapan matang apalagi membawa tiga bidadari kecil.  Mulai dari 'mendandani' mobil, perbekalan selama diperjalanan, oleh-oleh, dan yang pasti uang yang cukup.  Saya berada di Muara Dua hingga Sabtu sedangkan istri dan anak-anak masih tetap tinggal hingga cutinya selesai.

Perjalanan kembali ke Bogor Sabtu kemarin benar-benar membutuhkan kesabaran tingkat tinggi.  Bagaimana tidak, berangkat dari rumah pukul 8.30, bus berangkat pukul 12.00 siang dan berhasil tiba di pelabuhan Bakaheuni sekitar pukul 1.00 dinihari, namun antrian panjang masuk kapal yang dilansir detik.com hingga mencapai 5 km menyebabkan bus yang saya tumpangi baru bisa masuk kapal sekitar pukul 11.10.  Lebih dari 10 jam antri di pelabuhan.  Baru pukul 18.30 saya berhasil tiba di rumah dengan selamat, yang berarti total perjalanan dari rumah ke rumah sekitar 35 jam.

Sepanjang perjalanan saya teringat bahwa pada hakekatnya kita semua juga akan 'mudik'.  Tempat tinggal pertama Nabi Adam ketika diciptakan oleh Allah adalah di surga, sehingga wajar bila ada yang mengatakan surga sesungguhnya adalah 'kampung halaman' kita.  Bila mudik lebaran kita bisa memperkirakan jarak tempuh kampung halaman, 'mudik ke surga' ini tidak dapat dipastikan jauh perjalanannya.

Kita hanya tahu bahwa setiap orang pasti akan mengalami kematian dan setelah masuk ke alam kubur semua akan menanti dibangkitkan di hari akhir untuk mempertangguungjawabkan perbuatannya sebelum ada keputusan apakah kita akan kembali ke 'kampung halaman' di surga atau justru ke neraka.  Hidup di dunia ini merupakan persiapan untuk mengumpulkan bekal pulang ke kampung halaman.  Bila untuk perjalanan selama 16 jam atau 35 jam saja persiapan yang dibutuhkan sangat detil, apalagi perjalanan yang kita tidak tahu kapan berakhirnya.

Kesempatan mengumpulkan bekal hanya ketika di dunia karena setelah di alam kubur hanya tiga hal yang menemani, doa anak yang shaleh/shalehah, ilmu yang bermanfaat dan amal yang ketiganya harus disiapkan di dunia.  Seberapa banyak harta yang dimiliki di dunia, harta terakhir yang dibawa adalah kain kafan, semewah apapun kendaraan yang dimiliki di dunia, kendaraan terakhir yang digunakan adalah keranda dan seberapa luaspun rumah didunia, tempat tinggal terakhir hanyalah kuburan seluas 1x2 meter.

Tidak ada satu makhluk pun yang tahu kapan dirinya akan meninggalkan dunia.  Maut tidak mengenal tua-muda, sehat-sakit, kaya-miskin, pria-wanita, pejabat-rakyat jelata, semua pasti mengalami kematian. Tidak ada yang bisa merasa umur masih panjang hanya karena masih berusia muda atau masih sehat, segar bugar, punya uang banyak untuk berobat, dsb.

Ketika saya antri di pelabuhan selama lebih dari 10 jam, perasaan bosan, jengkel dan lelah fisik begitu menyiksa.  Pikiran ini mengembara ke suatu masa ketika nanti menghadapi antrian di padang mahsyar yang tidak bisa diperkirakan waktunya, menunggu giliran di hisab yang dikabarkan pada saat itu matahari berjarak sangat dekat dengan ubun-ubun kepala sehingga ada yang tenggelam di keringatnya sendiri.  Hidup di dunia yang sebentar ini benar-benar akan menentukan bagaimana kehidupan kita berikutnya di alam kubur, hari kebangkitan dan alam akhirat.
Wallahualam.

Tuesday, 29 July 2014

Rembulan di langit hatiku: A tribute...

Suatu malam di hari kedua tahun baru 2013.  Seperti biasa, tempat terbaik adalah tetap di laboratorium (lab), bukan karena hobi eksperimen tapi salah satu strategi penghematan biaya listrik, air, dan gas, apalagi di musim dingin yang semakin menggigit.  Strategi ini juga memungkinkan tidak perlu menggunakan smartphone atau koneksi internet di apato (apartment) karena wifi sangat kencang di kampus.  Tidak disangsikan lagi, lab adalah tempat tinggal terfavorit, sudah ada ijin dari Sensei buat mahasiswa bahkan bila setiap hari ingin menginap. Hari ini masih suasana libur tahun baru, salah satu momen sakral buat masyarakat Jepang, sehingga liburnya tidak cukup hanya tanggal 1 Januari.

Malam ini, seperti juga malam-malam sebelumnya, chatting, free call, free video call via YM, atau skype  (tergantung kekuatan jaringan di Bogor) dilakukan bukan hanya untuk melepas rindu, tapi juga menguatkan hati.  Di seberang sana, kali ini dirimu memberi kabar baik dan kabar kurang baik.  Kabar baiknya, anak-anak dalam keadaan sehat dan tetap kangen abinya.  Alhamdulillah. Kabar kurang baiknya, tidak ada ijin dari atasan untuk kembali lagi ke Nagasaki.  Alasannya cukup jelas dan masuk akal, "bagaimana kamu dan anak-anak akan hidup di sana, sementara suamimu tidak punya beasiswa? membiayai dirinya sendiri saja belum tentu bisa apalagi kalau ditambah keluarga?" demikian ucap atasanmu.

Meskipun tidak terlihat, aku tahu ada air mata yang tidak terbendung.  Hari-hari terakhir ini perasaan putus asa memang sudah ada diambang pintu.  Seorang teman mengatakan, istilah dalam bahasa Jepangnya 'yaruki ga arimasen' atau 'yaruki ga nai'.  Kalau orang Jepang sudah mengucapkan kalimat itu, berarti menunjukkan dia sudah tidak ada motivasi atau semangat lagi.  Kata-kata itu sudah sempat diucapkan ke Sensei, hingga beliau sangat terkejut.  Bagaimana lagi, saat dirimu selesai Master akhir September 2012, itu berarti tidak ada lagi sumber beasiswa.  Tapi keputusan sudah dibuat, sekolah harus tetap dilanjutkan mesku saat ini belum ada financial support, sementara dirimu dan anak-anak pulang ke Indonesia.

Usaha bukannya tidak dilakukan.  Entah sudah berapa kali aplikasi beasiswa dan lamaran kerja part time diajukan, tapi tidak ada yang diterima.  "Wajar aja, dengan kemampuan akademik yang pas-pasan, bahasa Inggris gak karuan dan kemampuan bahasa Jepang awut-awutan, mana mungkin bisa dapat beasiswa atau part time di sini?" pikiran itu selalu saja menghantui.  Hampir semua orang yang mengetahui berkata, "nekat amat sih tetep keukeuh ngambil S2 dengan kondisi kayak begitu".

Tetapi kata-kata dari dirimu ini telah membuat motivasi terus tegak, meski tidak bisa dikatakan kuat.

"Apapun yang akan terjadi, ummi dan anak-anak akan tetap datang ke Nagasaki sebelum Maret.  Dulu Abi sudah memenuhi janji membawa anak-anak ke Nagasaki, sekarang Ummi akan menetapi janji membawa mereka sebelum berpisah dengan Abi-nya lebih dari 5 bulan."  dirimu berkata sambil agak terisak.

"Lalu bagaimana dengan hidup di sini? bayaran kuliah sekitar Rp 30 juta per semester, biaya hidup sekeluarga yang paling minimal Rp 12 juta per bulan" akupun mulai sangsi.

"Bukan Abi yang ngasih rejeki ke ummi dan anak-anak. Setiap orang akan diberikan dan sudah punya rejeki masing-masing. Buat apa kuatir?  Kita masih punya Allah. Menuntut ilmu kan ibadah, buat apa kuatir? Kalau memang Allah mentakdirkan abi tidak bisa selesai S2, kita pulang sama-sama dari Nagasaki.  Tidak perlu malu, sampai kapanpun ummi dan anak-anak akan tetap bangga sama abi.  Kalau orang kantor gak ijinin, ya udah ummi aka ambil cuti diluar tanggungan negara aja. Buat apa kuatir? Ummi bisa bantu abi dengan ikut kerja part time disana, jadi apapun termasuk jadi cleaning service seperti yang pernah dilakukan teman dari Kenya" kata-kata itu keluar bersamaan dengan air mata.

Iya, buat apa kuatir. Allah tidak akan pernah memberikan beban diluar kesanggupan manusia.  Artinya, cobaan saat ini masih dalam batas kemampuan, jangan terus-terusan mengeluh dan malas berusaha, apalagi putus asa berdoa.  Teorinya sih begitu.  Tapi tetap saja, rasa kuatir kadang-kadang berhasil menjebol pertahanan.

Hari itu pun tiba.  Tanggal 16 Feb 2013, dirimu dan anak-anak mendarat di Kansai International Airport, Osaka.  Sengaja bukan di Fukuoka atau langsung ke Nagasaki. "Bukan untuk pemborosan.  Kebetulan dapat tiket promo Malaysia Airlines dari Jakarta, yang kalau ditotal tetap lebih murah turun dan menginap di Osaka, ditambah liburan sama-sama ke Universal Studio"

Hari itu, dirimu menetapi janji untuk membawa anak-anak tidak berpisah lebih dari 5 bulan dengan abinya.  Rasa rindu tidak bertemu dua bidadari kecil langsung terobati begitu mereka berebutan memeluk dengan erat.  Tetapi, persoalan dan tantangan besar telah menanti.  Bagaimana nanti kelanjutan hidup kita di sini? "Ya Allah, jangan biarkan istri dan anak-anak kelaparan" bisikku dalam doa.  "Ya Allah, jangan biarkan kami terjerat hutang" begitu salah satu isi doamu.

Bukti kekuasaan Allah secara perlahan benar-benar hadir menyapa kami sekeluarga.  Sebelum sampai di Nagasaki, seorang petugas di supermarket besar mengabarkan kalau aku diterima kerja part time dan bisa mulai kerja tanggal 18 Feb.  Subhanallah, meskipun tetap tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidup, tetapi bisa menggantikan kerja part time di perusahaan ekspedisi yang tidak menentu saat ini. Alhamdulillah. Setelah dihitung penghasilan yang akan didapat, kira-kira itu hanya cukup untuk biaya makan sekeluarga.

"Allah langsung mengabulkan doaku untuk tidak membiarkan ummi dan anak-anak kelaparan" secercah harapan dan rasa optimis mulai timbul.  Bukankan Allah berjanji akan bersama orang-orang menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong?

Ketika dirimu mengatakan ingin program punya anak, perasaan kuatir langsung menggoda dengan sangat kuat.  Dengan anak yang ada sekarang saja, kita masih kesulitan bagaimana kalau menambah anak?

Tetapi kekuatiran itu berubah menjadi keyakinan ketika keesokannya Sensei menawarkan dirimu untuk kerja part time di lab membantu penelitiannya.  Tentu saja ini adalah kerja part time terbaik untuk seorang lulusan S2 Jepang daripada menjadi cleaning service atau kerja di supermarket atau yang lainnya.  "Yakin saja bahwa setiap anak punya rejeki dari Yang Maha Pemberi" dirimu selalu menguatkan untuk mengurangi kekuatiran.

Ketika beberapa waktu kemudian dirimu mengatakan dari hasil tes urine sepertinya telah positif mengandung anak yang ketiga, perasaan senang tumpah ruah di apartmen kami.  Anak-anak sudah heboh menyambut adik baru.  Tapi, di Jepang yang berhak mengatakan positif hamil adalah seorang dokter, sehingga harus dilakukan pemeriksaan ke rumah sakit.  Bila benar positif, harus mendaftarkan kehamilannya ke kantor walikota dan harus melakukan pemeriksaan rutin di rumah sakit.  Sudah terbayang biaya yang harus dikeluarkan untuk periksa rutin dan informasi bahwa biaya melahirkan sekitar Rp 50 juta.  hmmm......

Seperti tidak ingin membiarkan rasa kuatir ini kembali muncul, keesokan harinya petugas dari international student center mengabarkan bahwa aku berhasil mendapat beasiswa Hashiya untuk biaya hidup.  Sujud syukur.  Ini adalah kesempatan terakhir karena setelah ini tidak mungkin lagi mengajukan beasiswa.  Sekali lagi Allah menunjukkan bahwa kekuasaan-Nya tidak terbatas.

Kemudian, saat dokter mengatakan bahwa dirimu benar positif mengandung anak ketiga, Allah kembali menghamparkan rejeki-Nya.  Teman-teman di lab memberikan ucapan selamat via grup di Line bahwa semester tiga ini aku bebas biaya SPP.  Demikian pula ketika Aisyah lahir tanggal 20 Desember, selain ucapan selamat atas kelahiran putri ketiga kami, teman-teman memberikan kabar yang sama bahwa semester empat aku juga bebas biaya SPP.  Doa-doa yang keluar dari lisan dirimu terkabul.  Allah memberikan kesempatan kepadaku untuk menyelesaikan S2 tanpa harus berhutang.

Detail perjalanan hidup itu masih membekas. Semua menjadi lebih mudah ketika dirimu ada disampingku.  Kebahagiaan menyapa saat kita yakin kepada Yang Maha Kuasa.  Keyakinan takkan terusik bila kita mendekat kepada Sang Khalik.

Hari ini, 29 Juli 2014, tepat sembilan tahun akad terucap di hadapan orang tuamu.  Semoga dirimu akan selalu menjadi rembulan di langit hatiku.

Rembulan di langit hatiku
menyalalah engkau selalu
temani kemana meskiku pergi menempuh tempat kita tuju

Doakanlah ku di shalat malammu
pelita perjalananku
Doakanlah ku di shalat malammu
rembulan di langit hatiku

(seismic)

Thursday, 24 July 2014

Sebelum mulai shalat

Biasanya seorang imam akan meminta makmum untuk meluruskan dan merapatkan shaf atau kadang-kadang juga meminta yang membawa alat komunikasi agar dinonaktifkan atau disilent, sesaat sebelum mulai shalat.  Tetapi ada yang beda saat shalat dzuhur kemarin.  Selain mengatakan hal tersebut, imam juga berpesan kepada makmum untuk melakukan tiga hal berikut.

Pertama, ingatlah bahwa Allah Maha Melihat apa saja yang kita lakukan. Karena itu shalatlah dengan benar, jangan melakukan gerakan yang pada akhirnya memalingkan kekhusyu'an.  Apapun yang kita lakukan, Allah sedang menatap setiap gerakan kita.

Kedua, ingatlah bahwa Allah Maha Mendengar apa saja yang kita ucapkan.  Karena itu bacalah setiap bacaan shalat atau ayat quran dengan tartil, tidak terburu-buru, yang justru akan mengubah arti bacaan itu.  Apapun yang kita ucapkan, Allah mendengar.

Ketiga, ingatlah bahwa Allah Maha Mengetahui, termasuk apa yang ada dalam hati kita.  Karena itu hindari memikirkan hal yang macam-macam yang akan menghilangkan konsentrasi shalat yang sedang kita kerjakan.  Apapaun yang kita pikirkan, Allah pasti mengetahuinya.

Sejujurnya, ketiga nasehat itu mak jleb banget. Sangat mengena. Betapa selama ini sering sekali pikiran berkelana kesana kemari, ke alam lain tanpa sadar bahwa saya sedang menghadap Zat Yang Maha Tahu, yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, yang mengetahui keberadaan seekor semut hitam di atas batu yang sangat hitam di malam yang gelap gulita.  Kadang di waktu shubuh, pikiran mengembara ke urusan rumah, anak dan istri, ketika dzuhur memikirkan urusan pekerjaan yang belum selesai, saat ashar sibuk merencanakan apa yang akan dilakukan saat pulang, shalat maghrib dan isya sibuk memikirkan makanan, bermain dengan anak, dsb.

Ah, ternyata masih sangat banyak yang harus saya perbaiki, padahal shalat lah yang membedakan seseorang itu muslim atau kafir, shalat juga yang pertama ditanya oleh Allah di hari akhir kelak dan shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.  Bila shalat saya masih gak karuan???? mudah-mudahan masih belum terlambat untuk berbenah.

Thursday, 17 July 2014

Berkah Ramadhan

Ramadhan segera memasuki fase terakhir.  Ada yang telah bersiap-siap menyambut lebaran, berkemas untuk pulang kampung atau masih disibukkan dengan undangan berbuka puasa bersama.  Tetapi, tidak sedikit juga yang semakin giat beribadah demi meraih kemuliaan malam lailatul qadr.  Kita termasuk yang mana? silahkan menghisab diri, merenungi perjalanan hidup dan kesempatan meraih pengampunan di bulan suci serta bagaimana kita memanfaatkan setiap detik Ramadhan.

Anyway, setiap orang mungkin punya pengalaman tersendiri selama bulan Ramadhan.  Ini memang bulan yang sangat istimewa, yang Rasulullah gambarkan andai kita tahu keistimewaannya tentu setiap orang akan berharap sepanjang tahun selalu Ramadhan.

Sebelum masuk Ramadhan, saya punya PR besar yang agak kuatir bisa diselesaikan, yaitu mengajarkan putri pertama (Chacha, 7.5 tahun) dan kedua (Fiya, 5 tahun) saya berpuasa.  Maklum, selama tiga tahun di Nagasaki belum pernah sekalipun mereka berpuasa. Bukan apa-apa, lingkungan sangat mempengaruhi mental mereka.  Tahun lalu sebenarnya saya sudah mencoba melatih Chacha berpuasa tetapi di sekolah selalu ada makan siang bersama sehingga dia tidak mau beda dengan teman-temannya karena itu berarti harus menjelaskan.  Sesuatu yang masih sangat sulit dilakukan, entah karena kesulitan bahasa atau faktor lainnya.

Persiapan dilakukan dengan memberi penjelasan tentang puasa, seperti harus bangun sahur sebelum shubuh dan tidak boleh makan dan minum sampai maghrib.  Terus terang, saya tidak yakin apakah mereka akan bisa bangun sahur dan tahan tidak makan minum sampai maghrib.  Hari pertama puasa mereka berdua kompak menangis tidak mau dibangunkan sahur.  Butuh waktu sekitar setengah jam hanya untuk membangunkan dan mendiamkan tangisan mereka.

Hari pertama, kami pergi melawat sahabat baik kami selama di Nagasaki yang meninggal tepat di tanggal 1 Ramadhan di kediamannya di daerah Ciputat.  Tentu saja melakukan perjalanan di saat terik bulan Ramadhan terasa lebih lelah dibanding hari biasa.  Di tengah perjalanan, Fiya sudah menyerah minta minum. Chacha? ketika sampai di rumah, selepas shalat dzuhur dia mulai menangis tidak tahan haus dan lapar.  Karena tidak tega, saya mengijinkannya untuk berbuka.

Sedih juga melihat kenyataan saya belum berhasil mengajarkan anak-anak berpuasa.  Saya adukan kelemahan saya ini kepada Sang Pencipta manusia.  Saya masih bisa memaklumi untuk Fiya karena masih 5 tahun, tetapi Chacha sudah cukup besar, seharusnya sudah kuat berpuasa.  Ketika mengijinkan berbuka, saya hanya bisa berpesan agar besok tetap coba berpuasa.

Hari kedua.  Seperti hari pertama, keduanya masih kompak menangis dibangunkan sahur.  Hmmm, teringat ketika di rumah dulu, saya sering dimarahin Ibu dan Bapak karena sulit sekali dibangunkan sahur. Like father like daughters.  Membangunkan sahur benar-benar menguji kesabaran Umminya.

Ketika sampai di rumah sepulang kerja, hal pertama yang saya ingin tahu adalah mereka sudah buka sejak jam berapakah? Saat parkir motor, Fiya langsung menyambut dengan tawa khasnya sambil teriak, "Abi, Fiya udah buka dari jam 11" hmmmm, lumayan ada kemajuan... Kemana Chacha? koq tumben gak ada suara khasnya menyambut kepulangan abinya. Setelah masuk ke dalam rumah, saya lihat Chacha tergelatak di tikar dengan wajah kuyu, sambil memegang perutnya. "Abi, Chacha belum buka, tapi sekarang perut Chacha sakit, terus lehernya panas.  Mungkin karena lapar sama haus ya".

Saya langsung mendatangi dan menyemangatinya, berusaha ikut merasakan apa yang sedang dia rasakan.  Perhatiannya berusaha saya alihkan dengan apa yang dia suka.  Bercanda, main game kesukaannya, ajak jalan-jalan naik motor, dsb sampai tiba waktu maghrib. Alhamdulillah, Chacha kuat puasa sampai maghrib.  Subhanallah...

Hari ketiga, keempat dan kelima masih ada keluhan perut sakit atau leher panas, tapi tetap kuat berpuasa sampai maghrib.  Ketika mulai masuk sekolah pun sama sekali tidak ada keluhan lagi keluar darinya.  Lingkungan sekolahnya (SD Insantama) telah banyak membantu mengajarkan Chacha tentang puasa dan bagaimana mengisi kegiatan di bulan Ramadhan.  Meskipun masih saja masih saja dihadapkan pada problem membangunkan sahur, saya tetap bersyukur Chacha terbiasa berpuasa. Fiya? biarlah dia masih berfluktuasi jam berbukanya. Kemarin dia laporan buka puasa jam 4 sore, karena gak tahan lihat pisang goreng.....

Mendengar suara tangisanmu, berat rasanya mengganggu tidur lelapmu
tapi akan lebih berat lagi bila engkau tidak dibekali sejak dini
Kelak engkau akan tahu betapa besar kasih sayangku
ketika engkau telah mampu memahami perkataan mulia sang Nabi:
"Sahur adalah berkah, oleh karena itu janganlah kalian meninggalkannya meskipun dengan menelan seteguk air.  Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya memberikan shalawat kepada orang-orang yang makan sahur (HR. Ahmad)"

Sunday, 13 July 2014

Gaza malam ini...

Hampir seminggu terakhir ini umat Islam dikejutkan oleh kabar dari saudara-saudaranya di bumi Palestina.  Pasukan zionis Israel tanpa ada sedikitpun rasa kemanusian, yang mungkin sudah menjadi sifat dasarnya, membantai anak-anak, wanita, orang tua dan rakyat sipil tak berdosa.  Alasan awalnya membalas kematian tiga orang warga Israel yang menurut klaim mereka dibunuh warga Palestina meskipun tidak ada bukti yang mendukung.  Rudal-rudal dan serangan udara dengan target yang membabi buta telah membuat syahid puluhan, bahkan ratusan rakyat Palestina.  Belakangan alasannya berganti lagi, pejabat pemerintah Israel menyatakan akan memperluas operasi dengan menyiapkan 40.000 tentara cadangan untuk mendukung tentara reguler dalam melakukan serangan darat sampai Hamas menghentikan serangan roketnya.

Siapapun akan terusik nuraninya melihat kebiadaban yang dipertontonkan kaum Yahudi ini, yang bukan pertama kali mengotori kesucian bulan Ramadhan.  Rudal dan senjata mereka diarahkan ke orang-orang lemah tak bersenjata, rakyat sipil yang tidak tahu apa-apa, yang sedang menikmati bulan puasa.  Foto-foto yang beredar luas di media sosial sungguh sangat menyayat hati.  Maha Benar Allah yang telah berfirman sejak lebih dari 14 abad yang lalu bahwa orang-orang Yahudi tidak akan pernah ridho hingga semua mengikuti ajaran mereka.

Ada salah satu foto yang beredar luas yang salah satunya menampilkan perkataan orang Palestina yang berkata bahwa mereka tidak akan meninggalkan Palestina, bagaimanapun kondisinya.  Karena jika mereka pergi, lalu siapa yang akan menjaga Al Aqsa.  Mereka rela mewakili milyaran umat Islam yang penguasanya masih saja lebih banyak berdiam diri menyaksikan kekejian Israel, demi tanah suci kaum muslimin.  

Malu rasanya melihat kenyataan bahwa kita disini masih bisa tertawa, sementara mereka berselimut duka.  Jika kita disini kadang untuk bangun sahur saja masih berkeluh kesah, mereka disana sahur dalam keadaan yang sangat gelisah.  Bila kita disini berbuka dengan gembira dengan makanan yang berlimpah, mereka disana berbuka dalam kondisi berduka, bahkan banyak yang sahur di dunia dan berbuka di akhirat.

Tidakkah hati kita tersentuh untuk ikut membantu meringankan beban mereka? ditingkat penguasa, tidak ada alasan untuk berdiam diri lagi.  Kemana pasukan militer kaum muslimin yang dimasa pemerintahan Islam dulu pernah dikirimkan untuk membela kehormatan seorang muslimah yang dilecehkan yahudi? Sungguh tidak masuk akal ada sebuah negara kecil yang bisa bertindak semena-mena dan dibiarkan sejak lama tanpa ada intervensi militer dari negara-negara lainnya. Ah, siapapun yang mau berpikir objektif akan mengetahui jawabannya.

Setidaknya di level kita, bantulah apa yang bisa dilakukan.  Untaian permohonan untuk keamanan, keselamatan, perlindungan dan kemenangan bagi rakyat Palestina sudah semestinya ada dalam doa yang kita panjatkan kepada Penguasa Alam Semesta.  Tapi itu saja tentu belumlah cukup. Salah satu ciri orang bertakwa yang digambarkan Allah dalam surat Al Imran 133-134 adalah menafkahkan hartanya baik di kala lapang maupun sempit.  Sesempit apapun kondisi kita saat ini, apalagi yang sedang diberikan kelapangan rejeki, segeralah salurkan harta untuk membantu rakyat Palestina.

Banyak lembaga-lembaga terpercaya yang menyalurkan bantuan langsung ke Gaza.  Tidak ada alasan lagi untuk menunda di bulan yang mulia.  Sungguh, berapapun yang kita keluarkan sejatinya belumlah sebanding dengan yang dilakukan saudara-saudara kita disana.  Mereka yang merindukan syahid, mereka yang setia menjaga Al Aqsa, mereka yang memastikan tidak akan pernah menyerah, di Gaza malam ini.  We will not go down, in Gaza tonight.

Thursday, 3 July 2014

Kabar duka di awal Ramadhan

Awal Ramadhan ini menyisakan kesedihan.  Di saat sedang makan sahur di hari pertama puasa, dapat kabar duka meninggalnya Dr. Endang Pujiyati yang sering saya, istri dan anak-anak panggil bude Endang.  Beliau adalah tetangga Indonesia terdekat selama tiga tahun tinggal di Nagasaki.  Ketika pertama kali istri saya hendak berangkat ke Nagasaki, bude Endang lah yang dihubungi dan kemudian banyak membantu persiapan serta adaptasi saat pertama tiba.  Istri saya menceritakan bahwa ketika sampai di Nagasaki, bude sedang hamil tujuh bulan anak terakhirnya (Michiko chan).  Bude sering mengajak jalan-jalan menunjukkan tempat-tempat untuk belanja yang murah, mencari makanan halal, dsb agar lebih mudah beradaptasi.

Ketika saya dan anak-anak datang, kami bertetangga sangat dekat, hanya berjarak 20an meter sehingga tidak heran kami begitu dekat, saling berkunjung, tuker-tukeran masakan, jalan-jalan bersama ketika libur tiba, dsb.  Bahkan ketika saya diminta teman-teman menjadi ketua PPI, bude Endang saya 'paksa' menjadi bendahara, sehingga kami sering berdiskusi bersama tentang ke-PPI-an.

Bude Endang memang punya riwayat penyakit jantung.  Saya  tidak akan melupakan ketika bude harus melaksanakan operasi jantung, operasi yang kedua di Nagasaki setelah sebelumnya operasi pengangkatan 'thymoma' (saya kurang yakin sama namanya), beliau meminta saya dan istri untuk menemani karena Pak hendra, suami bude harus mengantar ketiga anak mereka.  Jadilah, saya dan istri yang menemani dan ikut mendorong tempat tidur bude sebelum masuk ke kamar operasi, kami juga diminta melihat jalannya operasi dari ruang tunggu, hingga yang dilaporkan oleh Dokter yang membedah tentang kemajuan penanganan penyakit pasca operasi.

Keluarga saya dan bude juga memiliki waktu kepulangan yang sama karena sama-sama di wisuda di bulan Maret.  Bedanya saya pulang tanggal 28 Maret, sedangkan bude sekeluarga 1 April, dan sempat jalan-jalan dulu ke Tokyo.  Tetapi kami mengirim barang-barang di kontainer yang sama, sehingga setelah sampai di Indonesia pun kami masih saling berkomunikasi.

Sekitar tanggal 12 Juni terakhir kami berkomunikasi via whatsapp karena bude posting di FBnya sedang di rawat.  Ketika itu bude bilang akan pulang hari Jumat (13 Juni). Banyak hal yang kami bicarakan ketika itu, mulai dari sekolah anak-anak rencana ke depan dll.

Kabar meninggalnya bude tanggal 29 Juni pukul 12.45 dinihari, tepat di tanggal 1 Ramadhan sungguh mengejutkan.  Ketika kami datang melayat kerumahnya (hal yang membuat kami makin sedih karena datang ke rumah bude disaat hanya dapat melihat jasad bude yang telah terbujur kaku), pak hendra cerita tentang penyakit bude setelah pulang ke rumah tanggal 13 Juni itu yang ternyata tak kunjung sembuh hingga Allah memanggilnya.

Manusia punya berjuta rencana, tetapi Allah lah sebaik-baik pembuat rencana. Allah jauh lebih sayang bude. Allah menghentikan seluruh penderitaan bude akibat penyakit yang telah lama dideritanya. Bude adalah seorang ibu yang luar biasa, istri yang sangat penurut, penuntut ilmu yang sabar, tetangga, teman dan saudara yang baik.  Ketika pak hendra membukaan penutup muka di atas wajah jenazah bude, subhanallah, kami melihat senyum di wajah bude.  Semoga Allah mengampuni dosa-dosa bude, memberikan tempat terbaik di sisi-Nya, dan semoga pak Hendra, Sabrina, Naufal dan Michiko diberikan kesabaran dalam menerima ketetapan-Nya ini. Innalillaahi wa innailaihi rajiun.  Selamat jalan Dr. Endang Pujiyati.

Friday, 20 June 2014

Pemimpin yang dirindukan

Khutbah Jumat lagi-lagi bercerita tentang Umar bin Khattab dan lagi-lagi tidak pernah bosan telinga ini mendengar.  Mungkin karena sedang musim kampanye capres-cawapres sehingga keteladanan beliau menjadi salah satu contoh terbaik.  Saya akan mengulas kalau setelah diperhatikan ternyata beberapa sifat Umar bin Khattab yang telah melegenda, yaitu ketegasan, kewibawaan, kesederhanaan dan kepeduliaannya terhadap rakyat yang sangat tinggi, menjadi slogan yang digadang-gadang oleh para tim sukses capres saat ini baik 1 maupun 2 .

Ketika menjabat sebagai Khalifah dengan kekuasaan yang demikian luas, setiap malam Khalifah Umar selalu sulit memejamkan mata.  Alasannya? ini yang luar biasa.  Beliau sering tidak bisa tidur karena sangat takut bila memikirkan pertanggungjawaban di hadapan Allah terhadap rakyat yang dipimpinnya.  Lalu apa yang beliau lakukan dimalam hari? salah satunya sudah diceritakan dan silahkan di baca di sini.

Selain tentang kisah ibu dan anak penjual susu tersebut, kisah terkenal yang sering diceritakan adalah saat Khalifah di malam buta memangul sendiri gandum dari baitul maal untuk seorang ibu yang berusaha mendiamkan anak-anaknya yang terus merengek minta makanan, dengan cara memasak batu.  Subhanallah.  Seorang pemimpin yang kekuasaannya terbentang luas di jazirah Arab memanggul sendiri bahan makanan karena takut memanggul dosanya di akhirat bila Allah meminta pertanggungjawaban terhadap salah satu rakyatnya yang kelaparan.

Meski telah berulangkali mendengar kisah ini, berulang kali pula mata ini tidak sanggup membendung air mata.  Beliau-lah sejatinya pemimpin yang sederhana dan merakyat, yang melakukan 'blusukan' bukan demi pencitraan dan tidak pernah merasa perlu disaksikan masyarakat banyak.  Blusukan Khalifah Umar justru dilakukan di malam hari disaat sebagian besar rakyatnya terlelap dan paling hanya ditemani satu orang ajudannya.

Beliau juga terkenal sebagai pemimpin yang tegas dan berwibawa, yang tidak pernah kompromi terhadap setiap bentuk kedzaliman.  Kisah yang sangat terkenal adalah ketika ada seorang yahudi yang gubuknya digusur oleh salah seorang gubernur karena hendak ada perluasan masjid. Meskipun sudah diberikan kompensasi, ia tidak terima dengan keputusan gubernur karena dianggap sewenang-wenang. Orang yahudi itu memutuskan untuk pergi ke Madinah mengadukan masalahnya ke Khalifah.  

Sungguh kaget si yahudi tersebut ketika menemui Khalifah yang memiliki kekuasaan demikian besar, sedang duduk di bawah pohon rindang dekat masjid.  Khalifah juga hanya memakai pakaian yang sangat sederhana.  Setelah si yahudi menceritakan persoalannya, wajah Khalifah terlihat mengeras karena murka.  Lalu beliau memerintahkan orang itu mengambil tulang di tempat sampah.  Digoreskan dengan pedangnya garis lurus seperti huruf alif dan diberi garis melintang.  "Pulanglah dan berikan tulang ini kepada gubernur" kira-kira begitu perintah beliau.

Tentu saja yahudi tersebut terheran-heran.  Mungkin dia berpikir, 'Jauh-jauh datang ke Madinah hendak mencari keadilan, malah pulang suruh bawa tulang dari tempat sampah'. Dengan hati yang penuh tanda tanya, orang yahudi tersebut kembali ke daerah asalnya dan menghadap ke gubernur untuk menyerahkan tulang dari Khalifah Umar tanpa dia tahu apa maksudnya.  Reaksi gubernur sungguh di luar dugaan.  Wajahnya langsung pucat pasi, jelas terlihat sangat ketakukan.  Langsung saja diperintahkan seluruh pekerja untuk menghentikan perluasan masjid, mengembalikan tanah dan membangun kembali gubuk orang yahudi tersebut. Segera, tanpa ditunda...

Ada apa ini? apa maksudnya? mengapa hanya dengan tulang saja ketakutannya seperti itu? berjuta pertanyaan menggelayuti pikiran orang yahudi tersebut.  Lalu gubernur menerangkan yang kira-kira berkata, "tulang ini memang hanyalah sampah tidak berguna.  Tetapi tanda garis dari pedang Khalifah ini mewakili perintah Khalifah bahwa aku harus bertindak adil dan lurus kepada siapapun karena sesungguhnya pada akhirnya semua manusia akan menjadi tulang belulang dan harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di hadapan Allah.  Bila tidak, maka garis melintang ini menandakan siapapun penguasa yang bertindak sewenang-wenang dan tidak mengayomi rakyatnya sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya, maka Khalifah siap menggunakan pedang (kekuasannya) untuk menghentikannya.  

Subhanallah.  Inilah yang kemudian membuat orang yahudi tersebut dengan rela meminta diteruskan perluasan masjidnya, menerima penggusuran gubuknya dan kemudian bersyahadat karena menyaksikan sendiri kemuliaan ajaran Islam yang dicontohkan langsung oleh Khalifah.

Sekali lagi, ketegasan dan kewibawaan yang melekat dalam diri Khalifah bukanlah demi pencitraan dan sama sekali tidak dilakukan agar mendapat pujian masyarakat.  Kesederhanaan, kepedulian kepada masyarakat, ketegasan, kewibawaan seorang pemimpin yang lahir dari keimanan yang tinggi kepada Sang Pencipta, yang kemudian menjadi dasar setiap tindakannya.  Inilah sosok pemimpin yang dirindukan, yang memerintah berdasarkan tuntunan syariat, bukan hawa nafsu sesaat.  

Kita merindukan pemimpin yang tegas dan berwibawa, sekaligus yang sederhana dan merakyat, yang perbuatannya dilakukan karena keimanan yang tinggi dan ketakutannya akan pertanggungjawaban di akhirat kelak.  Bila sifat dan perbuatan yang dilakukan hanya demi pencitraan semata, atau hanya ingin diliput media massa, atau hanya sekedar ingin menaikkan elektabilitasnya, atau tidak ikhlas karena Allah Yang Maha Kuasa, bersiaplah semua akan berakhir sia-sia dan pada akhirnya lagi-lagi rakyat tidak akan mendapat apa-apa.  Semoga Allah karuniakan kembali pemimpin yang dikagumi penduduk bumi dan dirahmati penghuni langit...

Friday, 6 June 2014

Cara memberi tahu...

Rabu lalu saya bersama tim mendapat tugas evaluasi lapangan ke salah satu perusahaan kaca terbesar di Indonesia.  Di sela-sela pembicaraan informal, ada cerita menarik dari pimpinan Laboratory Service-nya yang baru pulang dari Jepang.

Begini ceritanya.  Dahulu ketika baru pertama kali ke Jepang dan masih menjadi perokok aktif, dia ditemui oleh kliennya yang merupakan orang Jepang.  Sambil menunggu bis yang akan mengantarnya ke lokasi, dia mengajak ngobrol rekan barunya sambil menghisap rokok kesayangannya dari Indonesia.  Setelah selesai merokok, seperti kebiasaan di Indonesia, langsung di matikan api di puntung rokoknya, dan membuang begitu saja di jalanan.  Menurutnya, aneh sekali negara semaju ini gak ada tong sampah.

Hal yang mengejutkan terjadi.  Teman Jepangnya tiba-tiba mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya.  Setelah menghisap satu kali, segera dimatikan rokoknya, dibungkus dengan tisu dan dimasukkan ke dalam tasnya.  Kontan saja sambil menahan malu yang luar biasa dia mengambil puntung rokok yang tadi dibuang dijalan, dan dimasukkan ke dalam tas seperti yang dilakukan orang Jepang.

Sebelum mengucapkan sesuatu, orang Jepang itu yang langsung berkata, "kamu tidak perlu melakukan seperti saya, ini kan negara saya bukan Indonesia".  Kata-kata tersebut membuatnya tambah tidak enak saja.  Dia menjawab, "Maaf pak, saya tidak seharusnya melakukan seperti tadi. Ini kebiasaan bagus yang harus saya tiru."

Jadi teringat beberapa hal penting yang diajarkan di sekolah dasar, yang saya dapatkan dari anak saya, seperti bagaimana membuang sampah pada tempatnya atau dibawa pulang, menghormati orang dan antri.  Bahkan orang yang membawa anjing berkeliling juga harus membawa air untuk menyiram dan kantong untuk menampung kotoran bila tiba-tiba si anjing buang air kecil atau besar.

Pelajaran dari kisah di atas, tidak perlu malu mengakui kesalahan dan belajar memang bisa dari siapa saja...

Friday, 23 May 2014

Wanita idaman

Selalu ada kegelisahan mendalam ketika meninggalkan istri dan anak-anak di rumah untuk tugas luar kota.  Begitu pula saat ini. Empat hari ke Yogyakarta benar-benar terasa menyiksa ketika tiap malam anak-anak telepon mengatakan, "kita sayang abi, kenapa malam ini gak pulang ke rumah?". Menjawabnya sambil ngelap air mata yang tidak kuasa dibendung dan mendoakan semoga mereka menjadi anak-anak yang shalehah.

Di hari terakhir, sambil terus menahan rasa rindu bertemu mereka, khutbah Jumat kali ini menggugah kesadaran tentang kriteria wantia shalehah.  Kira-kira inti ceritanya adalah sebagai berikut.

Pada masa Umar bin Khattab memerintah sebagai Khalifah, ada peraturan yang dibuat agar tidak mencampurkan air ke dalam susu yang akan diperdagangkan.  Seperti yang sering dilakukannya, pada tengah malam itu Umar bin Khattab berjalan keliling rumah-rumah penduduk bersama seorang ajudannya.  Ketika melewati suatu rumah, mereka mendengar percakapan antara seorang ibu dengan anak perempuannya yang kira-kira sebagai berikut.

"Nak, ayo segera campurkan air ke dalam susu itu, agar kita dapat untung yang lebih besar" perintah ibu kepada anak perempuannya.
" Jangan bu, bukankah Khalifah Umar bin Khattab telah melarang kita melakukan hal demikian karena ini termasuk penipuan terhadap pembeli?" jawab anaknya.
"Sudahlah nak, tidak akan ada yang tahu kalau kita mencampurnya malam-malam begini, apalagi Khalifah" desak ibunya.
"Ibu, Khalifah mungkin tidak tahu perbuatan kita, tapi dimana Allah?" kata anaknya, yang tidak hanya membuat ciut nyali ibunya, tetapi juga membuat Umar yang mendengar percakapan di luar tidak kuasa menahan air matanya.

Segera ketika kembali ke rumah, Khalifah memerintahkan ajudannya untuk kembali ke rumah itu dan memanggil si ibu. Apa yang hendak dilakukan Khalifah, apakah akan menghukum si ibu?

Sesampainya dihadapan Umar, ibu itu ditanya, "Apakah engkau mempunyai anak wanita?" yang langsung dijawab "Ya Amirul mukminin, saya mempunyai satu anak perempuan."
"Aku ingin menjodohkan putraku dengan anak perempuanmu" kata Umar tanpa basa basi.
"Tidak mungkin, derajat kita berbeda. Engkau adalah seorang Khalifah sedangkan kami hanyalah rakyat biasa" protes si ibu yang sama sekali tidak percaya akan mendapat tawaran seperti ini.

Singkat cerita, putra Umar bin Khattab, seorang Khalifah yang memiliki kekuasan lebih dari jazirah Arab menikah dengan putri seorang rakyat jelata.  Pernikahan ini bukanlah didasari atas kesamaan kekayaan, kedudukan dan yang lainnya.  Pernikahan ini hanyalah didasari kekaguman Khalifah terhadap keimanan sang putri, yang langsung bisa dinilai dari percakapan singkat dengan ibunya.  Subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menyatukan mereka.  Kelak dari keturunan mereka, lahirlah seorang laki-laki yang menggetarkan dunia.  Seorang yang sangat alim. Khalifah yang layak disejajarkan dengan empat Khulafaur Rasyidin pendahulunya.  Dialah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Wanita shalehah akan mendapatkan lelaki shaleh. Itulah janji Allah. Dari merekapun akan lahir keturunan yang shaleh dan shalehah. Tidak terasa, air mata ikut menetes mendengar cerita ini.  Tiba-tiba teringat salah satu lantunan doa yang rutin diucapkan anak-anak sehabis shalat. Ya Allah, jadikan Hafshah, Shafiyyah dan Aisyah perempuan yang shalehah seperti Siti Fatimah Ya Allah.  Semoga doa ini tidak hanya diaminkan oleh kami orang tuanya, tetapi juga oleh para penghuni langit.  Aamiin.

Friday, 16 May 2014

Indonesia itu indah

Rumput tetangga lebih hijau dari rumput di halaman sendiri.  Peribahasa itu sering kita dengar terutama ketika melihat sesuatu yang tidak kita miliki sepertinya lebih bagus.  Sebagai contoh, entah dilakukan secara sadar atau tidak, kita sering kagum melihat keindahan alam di luar negeri padahal kita masih minim pengetahuan tentang panorama negeri sendiri.

Sektiar tahun 2008 saya pernah menjadi staf sekretariat penyelenggaraan sidang internasional di Bali.  Ada yang sampai sekarang saya ingat dari perkataan staf WHO tentang Bali, "luar biasa, tempat ini indah sekali seperti surga" padahal saya yakin banget dia belum pernah ke surga.  Itu baru Bali. Indonesia masih menyimpan berjuta pesona keindahan alamnya.  Saya sendiri belum banyak menjelajahi, tapi mudah saja mencari informasi tersebut via internet.

Ini salah satunya, keindahan ciptaan Allah di kepulauan Bangka. Pantai Parai namanya. Pantai ini menawarkan keindahaan yang sungguh memesona mata dan hati.  Kemanapun lensa kamera diarahkan, terbentang pemandangan laut, pantai dengan batuan yang eksotis yang dilatarbelakangi pegunungan dan pohon kelapa.  Lebih indah dari imajinasi pemandangan yang selalu kita gambarkan ketika masih SD.

Secara objektif saya bandingkan, tempat ini jauh lebih bagus dari pantai Iojima di Nagasaki yang menjadi tempat favorit berenang dan menikmati keindahan pantai ketika musim panas tiba.  Tapi entahlah, sejauh pengamatan saya, tempat ini tidak banyak dikunjungi wisatawan domestik, apalagi mancanegara.  Mungkin pengamatan saya salah; mungkin saja pada hari itu memang sedang sepi pengunjung.

Bagaimana dengan kulinernya? hmmm, Bangka seharusnya bisa menyaingi Bangkok.  Kita tentu sudah tidak asing dengan istilah yang berhubungan dengan bangka, martabak bangka atau kerupuk bangka.  Belum lagi makanan olahan seafood, seperti halnya kota pinggiran pantai.  Makanan khasnya adalah lempah kuning, sejenis pindang ikan berkuah kuning dan mi koba berkuah ikan.  Lezat dan menyegarkan.

Saya yakin masih banyak tempat menarik di Indonesia yang belum banyak dikunjungi bahkan oleh bangsa kita sendiri.  Tidak perlu jauh-jauh ke negeri orang untuk mencari destinasi wisata yang indah atau kuliner yang lezat dan menyehatkan. Allah Yang Maha Pencipta telah menyediakannya di depan mata kita.

keterangan gambar: atas: panorama pantai parai. bawah: lempah kuning


Friday, 2 May 2014

Belajar dari orang luar biasa

Ada momen mengesankan yang saya dapatkan ketika sedang mendapat tugas ke Tasikmalaya.  Bukan berkaitan dengan penugasan selama disana.  Saya menginap di hotel yang berjarak sekitar 100an meter dari masjid agung kota Tasikmalaya.  Ketika sayup-sayup adzan shubuh berkumandang, saya bergegas keluar kamar menuju masjid.  Di dalam lift saya berpapasan dengan seorang laki-laki, yang dari pakaiannya menunjukkan bahwa beliau akan ke masjid.  Tidak seperti saya yang berpakaian 'seadanya', Bapak berbadan tegap ini berpakaian 'lengkap': baju koko, kopiah hitam, sarung dan tasbih di tangan.  Dari pertama kali berpapasan, rasa malu sudah menyelimuti, malu karena berpakaian seadanya untuk menghadap Yang Maha Kuasa.

Orang tersebut-lah yang pertama kali menegur saya, dengan suaranya yang bersahaja. "Mau ke masjid de'?". "eh, iya pak" jawab saya agak gugup, tidak menyangka akan ditegur lebih dahulu. "Ayo sama-sama dengan saya." ajak beliau sambil kemudian menuju ke area tempat mobilnya di parkir.  Dari perjalanan ke masjid yang hanya sebentar, terjadilah dialog singkat mengenai asal dan kegiatan masing-masing di Tasikmalaya.

Ternyata beliau berasal dari Mabes TNI AU yang saat ini sedang mengadakan kegiatan di lanud Tasikmalaya. "Pantas saja kemarin ketika datang, di hotel banyak orang berpakaian seragam TNI AU di depan dan dalam lobi," gumam saya dalam hati.  Setelah selesai shalat dan dzikir di masjid, kami kembali pulang bersama.  Saya mengira-ngira, orang ini pastilah bukan prajurit TNI biasa.  Orang yang rajin jamaah shubuh ke masjid pastilah orang hebat, apalagi seorang prajurit TNI AU.

Benar saja....selain punya kegiatan di lanud, beliau juga diminta mengisi kajian dakwah di radio dan tablig akbar di masjid agung.  Rasa malu kembali menghampiri...saya melirik sebuah buku tebal di dekat kursi yang saya duduki.  Sama sekali saya tidak mengerti buku itu karena judulnya tertulis dalam bahasa arab!!! Dengan tutur kata yang lembut, tanpa ada sedikitpun kesan ingin menyombongkan diri, beliau menceritakan sekilas pendidikan beliau dari Akabri hingga lulus S3 di UIN.

Beliau jugalah, yang ketika hendak berpisah di lift, yang berinisiatif bertukar nomor handphone dan mengundang ke acara tablig akbar di masjid agung.  Karena ada agenda kerja, dengan berat hati saya sampaikan tidak bisa memenuhi undangannya.  Di akhir ketika mencatat nomor beliau, saya bertanya, "mohon maaf pak, siapa nama bapak?" "Kemalsyah" jawab beliau sebelum kita berpisah di lift.

Lalu saya tanya ke mbah google, siapa gerangan beliau sebenarnya. Dengan mengetik kata kunci 'Kemalsyah, TNI AU" keluarlah dari mesin pencari pintar tersebut informasi: Ustadz Kolonel Sus TNI AU DR. H.M. Kemalsyah, M.Ag.  Dengan mudah dapat dibaca kiprah beliau di dunia militer yang diiringi dengan kontribusi nyata di dunia dakwah.  Hari itu saya langsung ngetwit: "Bersama dgn seorang alim dr mabes TNI AU ke masjid agung tasikmalaya. Smg Allah karuniakan pejabat militer yg jg @PejuangSubuh seperti beliau", yang tidak lama kemudian di retweet oleh @TNIOnline.  Ya, semoga saja.

Monday, 21 April 2014

Sekolah ke luar negeri (2)

Ini merupakan lanjutan tulisan sebelumnya disini.  Ada buku bisnis yang bagus berjudul “The Power of Kepepet” karya seorang pengusaha muda yang sukses bernama Jaya Setiabudi.  Sesuai judulnya, buku itu memberikan banyak tips dan kisah sukses dari penulis dan orang lain yang bangkit dari keterpurukan bisnisnya dengan melakukan hal-hal yang tidak terduga dan cenderung nekat.  Pesannya, kebanyakan orang cenderung lebih keras berusaha dan mengeluarkan kemampuan terbaik hingga titik tertinggi ketika sedang kepepet (terdesak).  Itulah yang juga terjadi dengan saya.

Di atas kertas, tanpa kemampuan akademik dan finansial memadai sulit bertahan hidup di negeri orang untuk sekolah.  Bila tidak punya kekuatan finansial, kemampuan akademik dan bahasa diperlukan untuk mencari beasiswa.  Tapi kalau keduanya tidak punya? Setidaknya saya masih bisa berdoa…dan tanpa sadar menjalani teori the power of kekepet.

Ada beberapa langkah yang saya lakukan.  Pertama, meminimkan pengeluaran.  Biaya hidup seperti makan, bayar sewa rumah, listrik, air dan gas itu lumayan besar.  Jadi semua komponen tersebut harus di hemat.  Alhamdulillah, meskipun hidup hemat selama tiga tahun di Jepang saya tidak pernah ke rumah sakit untuk  berobat.  Bahkan disaat banyak orang harus menggunakan masker dan tidak bisa beraktifitas ketika masuk musim dingin karena terserang flu atau demam, saya tetap dalam keadaan bugar. 

Ketika Prof saya bertanya apa rahasianya, saya jawab, banyak minum air putih, makan jeruk dan puasa.  Sejak lama saya terbiasa mengkonsumsi air minum minimal 2 liter sehari yang dimulai sejak bangun tidur, jeruk yang banyak mengandung vitamin C diperlukan untuk memperkuat pertahanan tubuh sedangkan manfaat puasa untuk kesehatan? Sudah banyak yang mengulas.  Kebiasaan itu tidak perlu biaya besar.  Puasa jelas mengurangi makan, air minum mudah diperoleh secara gratis (bisa baca di link ini), harga jeruk di musim dingin juga lebih murah dibanding musim lainnya.  Kata Prof saya, dari ketiga tips itu hanya makan jeruk yang bisa dilakukan. Puasa jelas tidak mungkin, minum air putih juga susah karena orang Jepang terbiasa minum teh dan kopi.

Langkah berikutnya adalah mencari beasiswa untuk biaya hidup maupun bayar SPP yang jumlahnya hamper Rp 30 juta per semester.  Saya baru tahu kalau ternyata tersedia banyak sekali beasiswa.  Rajin-rajin saja berkunjung ke international student center baik secara langsung maupun ke websitenya.  Dan yang saya lakukan tidak hanya website di universitas Nagasaki, tapi juga universitas lain di Jepang dan websitenya JASSO.  Kebiasaan ini sangat berguna untuk mendapatkan informasi peluang besiswa yang informasinya tidak sampai ke Nagasaki.  Dengan akses internet yang mudah, informasi bisa didapatkan dari berbagai sumber.  Luangkan waktu menjelajah di internet.

Tetapi, hal yang saya kuatirkan terjadi.  Tidak ada satupun beasiswa yang saya ajukan diterima. Gagalnya bisa di tahap wawancara yang harus menggunakan bahasa Jepang, ataupun langsung tidak lolos di tahap seleksi administrasi.  Situasi makin runyam tatkala ada informasi bahwa universitas akan mengurangi bantuan SPP bagi mahasiswa asing.  Di tengah kondisi yang galau, saya nekat tanya-tanya mulai ke Prof saya hingga ke pejabat-pejabat di  fakultas.  Tetapi saya mendapat jawaban tidak memuaskan dan kurang membantu mencari solusi untuk mendapatkan beasiswa.  Di kemudian hari saya baru menyadari bahwa untuk mendapatkan beasiswa, faktor penting di awal adalah kekuatan lobi dari Prof.  Bila Prof kita cukup senior dan mempunyai pengaruh di unversitas, peluang lolos dan mendapatkan beasiswa cukup besar meskipun kita tidak punya kemampuan bahasa Jepang. Sayangnya, saya mempunyai Prof yang masih muda dan tidak punya pengaruh bahkan di level fakultas!!!

Ada saran dari mahasiswa asing lain yang senasib.  Cari part time job!!! Dalam kondisi normal, sepertinya itu pekerjaan sia-sia.  Kenapa? Karena dibutuhkan kemampuan bahasa Jepang (ya iyalah, namanya juga kerja kan harus ngomong…).  Tapi tetap saja saya melakukannya.  Saya mencari informasi dari berbagai sumber, mulai koneksi teman-teman Indonesia, mahasiswa asing khususnya dari China, dari majalah (yang ini minta tolong bacain sama orang Jepang) hingga mendatangi part time job center milik pemerintah dan swasta.  Dapat kerjanya? Tidak. Alasan utamanya, kemampuan bahasa Jepangnya kurang memadai.  Lengkaplah, sepertinya tertutup semua peluang untuk mendapat penghasilan.

Betulkah semua sudah tertutup? Tentu saja tidak. Masih ada Allah yang Maha Luas rejeki dan karunianya. Memang tidak ada kepastian semuanya akan mudah, tetapi ada jaminan bahwa Allah bersama orang-orang yang menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong, dan  Allah tidak akan memberikan ujian diluar batas kemampuan manusia.  Selalu ada kemudahan ketika manusia telah mencapai batas kemampuan untuk mengatasi kesulitannya. Selalu ada hikmah dari setiap peristiwa.  Jadi teringat ketika Rasulullah di tolak dakwahnya di Thaif, di lukai oleh orang-orang disana hingga malaikat saja tidak tega melihatnya dan menawarkan untuk menghancurkan orang-orang tersebut dengan menimpakan gunung, justru Rasulullah menolaknya dan memilih untuk mendoakan mereka.  Bertepatan dengan akhir tahun 2012, di tengah kesulitan hebat saya pun memilih menulis resolusi 2013 yang 'mustahil' dan mendoakannya di setiap kesempatan yang terbaik.

Resolusi 2013 yang selalu saya doakan antara lain, ingin mendatangkan istri dan anak-anak kembali ke Nagasaki sebelum Maret, mendapat beasiswa atau part time job, mengadakan acara besar di Nagasaki (dalam kapasitas sebagai ketua PPI Nagasaki), jalan-jalan ke Tokyo dan beberapa hal lainnya.  Dengan kondisi saat itu, semua resolusi jelas terasa mustahil tapi tetap saja saya meminta istri, anak dan orang tua mendoakannya.

Kenekatan pertama adalah mendatangkan istri dan anak-anak di pertengahan Februari, masih tanpa adanya beasiswa dan part time job.  Tidak terbayang bagaimana biaya hidup, hanya keyakinan bahwa tidak baik suami istri terpisah lebih dari empat bulan dan Allah pasti memberikan rejeki kepada setiap makhluk-Nya.  Secara matematis, kehidupan akan lebih sulit dengan bertambahnya anggota keluarga yang harus dinafkahi.  Tetapi perhitungan manusia jelas berbeda dengan kasih sayang-Nya.

Tepat di hari kedatangan mereka di Nagasaki, saya mendapat part time job di sebuah supermarket, setelah sebelumnya kerja tidak menentu di perusahaan pengiriman barang.  Allah benar-benar tidak membiarkan istri dan anak-anak kesulitan karena gajinya cukup untuk biaya hidup meskipun tidak untuk membayar SPP.  Kemudian datang lagi kabar kehamilan istri.  Lagi-lagi, secara matematis itu akan membebani karena setiap bulan wajib kontrol ke dokter dan biaya persalinanpun katanya cukup mahal.  Masih tergambar jelas, diakhir Mei ketika dokter di rumah sakit memastikan kehamilannya, sore hari ada telepon yang sangat tidak terduga.  Saya mendapat beasiswa!!!

Setengah tidak percaya, saya segera ke international student centre.  Sepanjang perjalanan pikiran berkecamuk? bagaimana mungkin? saya kan gak bisa bahasa Jepang; Prof saya kan tidak punya lobi yang kuat, pengumuman beasiswa kan biasanya maksimal akhir April, dsb, dsb.  Namun demikianlah bila Allah telah berkehendak.  Saya mendapat beasiswa Hashiya, beasiswa yang disediakan oleh perusahaan makanan di Tokyo yang hanya diperuntukkan untuk mahasiswa Indonesia sehingga tidak perlu persaingan antar Prof karena hanya saya satu-satunya mahasiswa Indonesia di nagasaki yang belum mempunyai beasiswa.  Luar biasanya, tidak diperlukan wawancara, jadi tidak masalah meskipun kemampuan bahasa jepang kurang memadai.  Dan yang membuat saya tambah bersujud syukur, setiap peserta wajib datang ke Tokyo untuk menghadiri pertemuan dengan sesama penerima beasiswa. Beberapa resolusi 2013 langsung tercapai!!!.

Hari-hari berikutnya saya lalui seperti mahasiswa asing yang 'normal'.  Saya memilih untuk tidak melanjutkan part time job karena waktu bermain dengan anak-anak jauh lebih menarik.  Setelah itu saya bersama teman-teman pun bisa mengadakan acara Inspirasi Muda Mulia, acara besar pertama di Nagasaki yang dihadiri sekitar 60 orang, hampir seluruh WNI di Nagasaki (link beritanya di sini).  Subhanallah, hampir semua resolusi 2013 tercapai.  Allah sebaik-baik pemberi janji.

So, buat yang masih mempunyai cita-cita melanjutkan sekolah ke luar negeri, jangan dulu dipadamkan keinginan itu karena adanya rintangan-rintangan.  Buat yang sudah mempunyai modal akademik, bahasa, atau bahkan beasiswa, juga jangan terlalu jumawa.  Masih banyak tantangan yang harus di hadapi ke depan.  Ketika sudah tiba di negara tujuan, perbanyak silaturahmi dengan sesama WNI, dengan saudara-saudara muslim dan mahasiswa asing lain serta selalu pelihara hubungan baik dengan Prof dan teman-teman di lab. Bagi yang sudah berkeluarga, jangan sekali-kali berencana untuk tidak membawa keluarga ikut serta. Keluarga bukanlah pengganggu belajar, mereka adalah sumber semangat, motivasi, keceriaan dan rejeki.

Monday, 7 April 2014

Amanah baru yang tiba-tiba

Tanggal 1 April menjadi hari pertama kembali bekerja setelah tiga tahun berpetualang di luar kantor.  Esoknya langsung diajak mengikuti rapat. Masih agak canggung kembali mengunjungi hotel dan membahas dokumen.  Saya bukanlah seorang adapter yang baik, tapi ini harus secepatnya dilakukan.

Tanggal 3 April. Sore hari sebelum pulang ada telepon yang sangat mengejutkan.  Ada acara pelantikan besok, dan saya termasuk yang diundang. Pesan yang sangat jelas, pindah tempat. Tugas baru, amanah baru. Rasanya meja baru selesai dirapikan, bahkan belum semua laci sempat dibuka.

Akhirnya, kita memang harus selalu siap menghadapi sesuatu yang tidak bisa kita hindari.  Sebagai manusia dengan keterbatasan pengetahuan dan akal, kita tidak pernah tahu mana yang pada akhirnya merupakan hasil terbaik.  Tugas kita hanyalah melakukan usaha dan doa yang terbaik dengan menyerahkan seluruh hasil kepada-Nya.  Allah, Zat Yang Maha Bijaksana, tidak menilai hasil akhir tetapi proses untuk mendapatkan hasil tersebut.

Wednesday, 2 April 2014

Sekolah ke luar negeri (1)

Apakah anda termasuk orang yang bercita-cita ingin sekolah di luar negeri? Bila iya, saya yakin semua sepakat bahwa untuk sekolah di luar negeri setidaknya ada dua syarat yang harus dipenuhi.  Pertama, miliki uang yang sangat banyak (bisa uang sendiri atau orang tua) lalu berangkat ke luar negeri dan daftar sekolah disana.  Kedua, cari beasiswa yang banyak tersedia dimana-mana dan tentukan negara serta universitasnya.  Syarat pertama mengharuskan kita menjadi orang berduit atau setidaknya anak orang berduit.  Hal ini bisa kita lihat pada sejumlah anak pejabat atau artis ibukota yang memilih sekolah di negara dan kota-kota ternama di dunia.

Syarat kedua mengharuskan kita memiliki kemampuan akademik dan berbagai prestasi agar bisa bersaing dalam kompetisi memenangkan beasiswa. Banyak sumber beasiswa mulai yang tersedia di unit kerjanya (mis. PNS kementerian atau lembaga non kementerian), atau dari lembaga lain seperti yang disediakan Bappenas (umumnya untuk PNS) atau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menyediakan beasiswa untuk para dosen dan beasiswa unggulan bagi yang mempunyai prestasi.

Tersedia juga beasiswa dari pemerintah negara tujuan, misalnya monbukagakusho yang disediakan oleh pemerintah Jepang atau dari pihak swasta seperti panasonic award dsb. Dari mana dapat memperoleh sumber informasi beasiswa? Di era digital seperti ini, mencari informasi bukanlah hal yang sulit.  Luangkan waktu untuk menjelajah di dunia maya dan temukan berbagai macam informasi yang bisa kita validasi. Jangan abaikan pentingnya mempunyai informasi dari orang-orang yang sudah pernah bersekolah disana.  Lulusan luar negeri yang mempunyai kinerja baik selama menjadi mahasiswa biasanya tidak sulit bila merekomendasikan orang yang dikenalnya karena adanya hubungan baik dengan Profesornya.

Saya ingin berbagi informasi mengenai monbukagakusho. Bukan, saya bukan mantan penerima beasiswa tersebut, tapi istri saya.  Setahu saya ada dua tipe beasiswa monbukagakusho. Pertama, seleksi dilakukan oleh pihak kedutaan Jepang di Indonesia yang biasanya tingkat persaingannya cukup tinggi atau seleksi bisa langsung dilakukan oleh universitas.  Buat yang tidak memiliki kemampuan bahasa Jepang, gak perlu mundur teratur karena teman saya ada yang mendapat beasiswa melalui proses seleksi di kedutaan dan dia tidak mempunyai kemampuan bahasa Jepang sama sekali.  Istri saya mendapat beasiswa melalui jalur yang kedua.  Informasi yang saya dapatkan, Professor yang mempunyai pengaruh cukup besar kadang mempunyai 'jatah' bisa mencari dan menyeleksi sendiri mahasiswanya untuk mendapatkan langsung beasiswa ini.  Nah, banyak cara dilakukan Profesor ini dalam mencari mahasiswa. Bisa dari komunikasi via email atau melalui hubungan pertemanan.  Istri saya mendapat informasi beasiswa ini dari hubungan pertemanan antara Professor di Nagasaki dengan teman kuliahnya yang menjadi pengusaha di Jepang dan mempunyai hubungan kerjasama dengan Indonesia.  Apakah seleksinya sulit? menurut saya tidak, karena hanya diberikan tiga soal melalui email masing-masing satu dari Professor, Associate Professor dan Assistant Professor dan diberikan waktu seminggu. Tentu saja mereka juga memperhatikan keterkaitan penelitian yang akan diambil serta academic background.

Jadi kesimpulannya, untuk sekolah di luar negeri syaratnya harus kaya (bisa berangkat dengan biaya sendiri), atau harus pintar (bisa bersaing mendapatkan beasiswa. Benarkah hanya dengan cara itu??? Pengalaman saya mengatakan TIDAK!!!

Ada banyak mahasiswa asing (umumnya dari China) yang hanya berbekal kemampuan finansial secukupnya datang ke Nagasaki (mungkin juga kota lain di Jepang) untuk sekolah.  Mereka mendapatkan informasi Professor atau lab yang mau menerima mereka dari teman-teman yang sudah lebih dahulu ada.  Bahkan sebagian dari mereka sama sekali tidak mempunyai kemampuan bahasa Inggris dan bahasa Jepang.  Dengan hanya berbekal tiket ke Nagasaki dan dukungan dari orang tuanya yang tidak seberapa, mereka datang ke Nagasaki.  Lalu bagaimana cara mereka bertahan secara akademik maupun finansial?  Ketika pertama datang, yang dilakukan adalah mengikuti kursus bahasa Jepang yang disediakan gratis oleh universitas secara intensif.  Umumnya mereka sangat cepat belajar karena kemiripan tulisan kanji dan bisa survive di dalam pergaulan.  Untuk bertahan hidup, kerja paruh waktu (part time) dilakukan meskipun tidak jarang hal ini mengganggu waktu belajar dan penelitian.

Berani melakukan seperti itu? saran saya kalaupun berani jangan konyol.  Pelajari dahulu dengan detail situasi di kota yang akan di tuju, sifat penelitian yang akan dilakukan, informasi ketersediaan part time job dari teman-teman yang sudah melakukannya.  Bagaimanapun kalau tujuan datangnya adalah untuk sekolah, ya sekolahlah yang utama bukan bekerja.

Selain itu adakah cara lainnya??? ternyata masih ada, tetapi tips ini hanya berlaku bagi yang masih jomblo. Apa itu? Menikahlah dengan orang yang mempunyai dua syarat utama tadi, yang kaya atau yang pintar he he.  Setidaknya itulah yang terjadi dengan saya.  Dengan keterbatasan finansial dan kemampuan akademik biasa-biasa saja, membayangkan bisa lanjut kuliah S2 saja hampir tidak pernah, apalagi di luar negeri!. Tetapi Allah lah sebaik-baik pembuat rencana.  Karena istri saya mendapat beasiswa ke Jepang untuk S2 dari monbukagakusho, saya dengan harus ikut mendampingi agar anak-anak tidak jauh dari Ibunya sebagai konsekuensi telah mengijinkannya ikut proses seleksi.  Artinya? saya 'terpaksa' harus ikut ke Jepang.

Bagaimana hingga kemudian saya bisa S2, dengan kemampuan finansial, akademik dan bahasa yang sangat terbatas? Insha Allah di tulisan berikutnya saya ceritakan.


Sunday, 30 March 2014

Penyakit akibat karsinogenik

Kalau di tulisan sebelumnya tentang alergen diceritakan tentang dua tahap reaksi ketika tubuh terkena alergi, sekarang saya ingin mengulas tentang karsinogenik.  Secara definisi, karsinogenik merupakan zat yang dapat menyebabkan kanker pada tubuh.  Zat ini bisa berasal dari bahan tambahan (food additive) yang ditambahkan ke dalam makanan tidak sesuai aturan; pestisida untuk tumbuhan atau hormon pertumbuhan hewan yang digunakan secara serampangan; atau bisa juga terbentuk selama proses pengolahan makanan; maupun dari udara sekitar yang terkena polusi kendaraan dan asap rokok.

Karsinogen umumnya masuk ke tubuh dalam jumlah sedikit, sehingga tidak seketika menimbulkan kanker.  Dibutuhkan waktu lama sampai terakumulasi, hingga cukup menimbulkan efek kanker yang mematikan.  Secara fakta, sulit sekali menghindar dari terkena/terpapar karsinogen karena memang zat ini ada di mana-mana.  Ketika keluar rumah, sulit sekali menghindar dari asap knalpot.  Meskipun bukan perokok, kita pun kadang kebagian 'jatah' asapnya. Belum lagi berbagai makanan jajanan yang diolah dengan cara yang tidak benar atau ditambahkan bahan-bahan yang berbahaya.  

Menjaga pola hidup yang sehat sejak masa muda merupakan cara terbaik mencegah timbulnya penyakit kanker di usia tua.  Selain itu, juga disarankan banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung zat anti karsinogenik atau anti kanker yang banyak terdapat secara alami di sayuran, buah-buahan, madu, dsb. 

Mencermati sifat karsinogenik pada tubuh tersebut, saya jadi coba mencocok-cocokkan (maaf kalau ternyata gak cocok) dengan sifat atau perbuatan tidak baik yang biasa ada dalam diri kita.  Iri, dengki, sombong, kikir, suka meremehkan orang, dll sepertinya bersifat karsinogen bagi tubuh kita.  Sekali melakukannya, memang tidak akan serta merta di cap kafir, durhaka, atau layak dihukum rajam/potong tangan. Tetapi bila sifat ini terus dibiarkan ada, tumbuh, berkembang dan terkumulasi dalam tubuh, bukankah hati ini juga akan mati akibat efek 'kanker' yang semakin sulit disembuhkan tersebut?

Secara manusiawi, apalagi dijaman yang serba materialistis, terkadang sulit sekali menghindari atau bahkan tanpa disadari muncul perasaan iri bila melihat orang lain lebih kaya/sukses secara materi; atau timbul perasaan sombong bila berhasil mencapai sesuatu sehingga merasa diri lebih hebat dari yang lain; atau tiba-tiba lidah terasa gatal ingin menggunjing aib orang lain; atau sayang mengeluarkan harta untuk sedekah.  Mirip seperti zat karsinogen yang banyak tersebar di sekitar kita, yang terkadang sulit untuk dihindari. 

Sangat disarankan menjaga pola hidup sehat untuk mencegah matinya hati’ akibat penyakit yang dapat menggerogoti tubuh seperti halnya kanker ini.   Salah satu caranya adalah dengan mengkonsumsi 'tombo ati (obat hati)' karena lima unsur yang ada di dalamnya sangat efektif berfungsi sebagai 'zat anti karsinogenik'.  Lima unsur itu adalah membaca Quran dengan maknanya, mendirikan shalat malam, berkumpul dengan orang-orang shaleh, memperbanyak puasa dan memperpanjang dzikir malam.  Besyukurlah bagi yang sudah ‘mengkonsumsinya’ secara konsisten.  Mohon doanya agar saya pun bisa seperti itu. Wallahualam.

*tulisan ini juga dipublikasikan di website Jamil Azzaini, Inspirator Sukses Mulia di sini

Friday, 28 March 2014

Pulang...(Tiada pertemuan tanpa perpisahan)

Telah tiba harinya...setelah tiga tahun berpetualang di Nagasaki, hari ini saatnya pulang kampung. Banyak yang bertanya, gimana perasaannya akan meninggalkan Nagasaki dan kembali ke 'dunia nyata'? Dalam dua minggu terakhir ini, hampir setiap hari diisi dengan bersilaturahmi, termasuk mengumpulkan hampir semua teman-teman Indonesia di Nagasaki.

Sejak Selasa sore, anak-anak sudah 'mengungsi' di rumah Teh Lida, salah seorang teman baik dari Bandung yang menikah dengan orang Nagaasaki. Sudah beberapa kali diajak menginap sejak rumahnya pindah ke apartmenet pemerintah. Bahagia juga melihat mereka bermain dengan yu kun, anak semata wayang Teh Lida, tanpa mereka mengerti bahwa ketika esok harinya berpisah, entah kapan lagi mereka dapat bertemu.  Terlalu banyak bantuan yang diberikan oleh Teh Lida sekeluarga, semoga Allah membalas kebaikannya.

Mulai rabu sore, penginapan berganti ke rumah Obaachan, seorang nenek asal Jepang yang tinggal seorang diri. Di sana, ia sudah menanti dengan hidangan khas Jepang dan mempersiapkan segala sesuatunya agar semuanya nyaman bermalam. Obaachan (dalam bahasa Jepang kata ini berarti nenek) ini bernama asli Aiko. Alhamdulillah, belum lama memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Aisyah atau penulisan dalam huruf katakana-nya adalah Aisa. 

Ada yang membuat saya sedikit terperanjat. Ketika saya tanya apa selama ini sudah rutin melaksanakan shalat, beliau berkata tidak karena shalat itu sangat menyulitkan. Pertama, sulit sekali berwudhu apalagi di waktu shubuh karena dapat menyiksa tubuhnya yang sudah renta. Begitupun, kadang tidak kuat berdiri terlalu lama atau bersujud dengan sempurna seperti yang telah diberitahu/dicontohkan banyak orang.  Dengan perlahan (maklum bahasa Jepang pas-pasan), saya sampaikan bahwa untuk orang yang tidak mampu karena alasan yang dibenarkan seperti sakit, sudah tua, dsb, boleh shalat 'sebisanya'.  Wudhu bisa diganti dengan tayamum, shalat berdiri bisa diganti dengan duduk, bila tidak bisa bersujud bisa dengan hanya menundukkan kepala.  Bahkan shalat dengan hanya menggunakan isyarat tetap diperbolehkan.  Yang penting: kerjakan shalat!.  Jadilah saat itu praktek tayamum dan shalat maghrib.  Saya menjadi imam, sedangkan beliau, istri dan anak-anak menjadi makmum.  Ya Allah berilah perlindungan kepada Obaachan sampai akhir hayatnya, agar tetap istiqamah dalam Islam. 

Kamis pagi, Obaachan menunda jadwalnya ke rumah sakit untuk mengantar kami ke halte bus. Sedih sekali melihat Obaachan berkali-kali mengatakan, wasurenai de ne...wasurenai de ne...(jangan lupa ya...jangan lupa ya...).  Obaachan secara khusus meminta gamis yang dipakai istri saya pada hari itu dan jaket anak-anak. Sekali lagi terharu melihatnya memeluk jaket anak-anak ketika bus yang kami tumpangi bereangkat menuju bandara Fukuoka.  Entah, kapan lagi bisa bertemu Obaachan.

Sepanjang jalan, berkecamuk berbagai macam perasaan. Terlalu banyak kenangan selama tiga tahun. Agak sedih juga melihat anak-anak yang terpaksa harus berpisah dengan teman-temannya yang baru saja mulai akrab.  Entah, apakah suatu saat diantara mereka bisa bertemu kembali. 

Tetapi diluar perasaan itu, sesungguhnya ada perasaan lain yang tidak kalah menggelora. Senaang!!! bukan karena telah berhasil menyelesaikan sekolah atau juga bukan karena akan kembali bisa merasakan makanan Indonesia lagi.  Tapi rasa senang karena akan bertemu dengan orang tua lagi selama tiga tahun.  Rasa ini telah dominan ada sejak pertama kali meninggalkan mereka. 

Jumat dinihari, dari bandara Soekarno Hatta langsung meluncur ke kemayoran.  Turun dari mobil langsung kupeluk dengan erat kedua orang tua satu persatu hingga air mata menetes. Aku sangat rindu mereka.  Teman-teman mungkin akan datang dan pergi dalam perjalanan hidup setiap manusia karena sudah sunatullah setiap pertemuan pasti memerlukan saat-saat perpisahan.  Tetapi keluarga, ibu, ayah, anak, istri/suami, kakak/adik tidak ada kata berpisah, bahkan meskipun dipisahkan jarak, waktu atau telah berbeda dunia sekalipun.

Tuesday, 18 March 2014

Jugyou sankan

Ini merupakan istilah dalam sistem pendidikan di Jepang yang kira-kira berarti kunjungan orang tua ke sekolah untuk melihat langsung proses belajar mengajar di kelas.  Berbeda dengan katei houmon (seperti yang sudah saya ceritakan disini) yang dilakukan sekali di awal tahun ajaran, jugyou sankan dilakukan beberapa kali dalam satu tahun.

Saya pernah dua kali mengikuti jugyou sankan untuk anak kelas 1 SD.  Materi pelajaran yang diberikan saat saya hadir pertama kali adalah tentang pengenalan 'chanpon' yaitu mi kuah yang merupakan makanan tradisional khas Nagasaki.  Saya akan ceritakan bagaimana cara si Ibu guru mengajar di kelas, yang lebih banyak berinteraksi ke murid sehingga seisi kelas menjadi ramai.

Bahan-bahan penyusun chanpon diuraikan di papan tulis.  Untuk menjelaskan tentang mi, si Ibu guru menerangkan mulai dari tanaman gandum, diolah di pabrik menjadi tepung sampai dibuat mi. Untuk menerangkan kamaboko (produk olahan ikan khas Jepang), Ibu guru ini menjelaskan dari ikan kemudian diolah di pabrik menjadi kamaboko.  Begitu pun cara menerangkan sayuran atau daging, selalu dimulai dari awal bahan mentahnya.

Hal yang membuat seisi kelas menjadi heboh adalah, si Ibu guru selalu mengawali dengan bertanya kepada murid. misalnya, "Siapa yang tahu, apa saja isi chanpon?" lalu banyak murid yang mengangkat tangannya. Ketika Ibu guru mempersilahkan salah satu murid menjawab, yang lain mendengarkan.  Bila ada yang merasa jawaban itu tidak tepat, murid-murid akan langsung berteriak, "saya punya jawaban lain"...

Setiap jawaban yang benar dari murid, akan digambar oleh Ibu guru!!!! ini salah satu sisi lain yang menurut saya menarik. Hebat sekali si ibu guru ini bisa dengan cepat menggambar tanaman, beralih ke gambar ikan, pabrik, kamaboko, dengan kapur berwarna-warni.  Kelas benar-benar heboh....

Adakah murid yang tidak aktif? Ada. Disinilah saya melihat peran seorang ibu yang dijalankan dengan baik oleh ibu guru.  Saat memberikan pertanyaan terkadang ia berkeliling untuk menghampiri anak yang belum pernah menjawab dan ditanya secara langsung.  Misalnya, saat anak saya belum juga menjawab karena tidak tahu apa itu chanpon, si Ibu guru langsung bertanya "kalau Hafshah sayuran apa saja yang biasa dimakan di rumah?" lalu anak saya menjawab dan terjadi dialog singkat dengan guru.  Dengan begitu, si anak tidak merasa minder karena merasa tidak pernah bisa menjawab padahal di lihat oleh orang tuanya dan orang tua teman-temannya.

Jugyou sankan kedua yang saya ikuti adalah jugyou sankan terakhir sebelum liburan sekolah, yang dilaksanan akhir Februari.  Isinya sangat menarik karena berisi penampilan/performance yang menunjukkan kemampuan setiap anak.  Ada yang menyanyi, memainkan alat musik, lompat tali, menghitung penambahan dan pengurangan dan memainkan kata.  Anak saya mendapat tugas mengambil kertas yang dipegang oleh temannya yang berisi satu kata dalam bahasa Jepang, kemudian dia diharuskan menulis huruf kanjinya.  

Apa yang dilakukan si Ibu guru? dia mengawasi penampilan setiap anak sambil memberikan semangat bila ada yang tidak bisa.  Satu lagi, pada saat ada yang menyanyi, dia mengiringi dengan piano!!!  Saya jadi berpikir, berat sekali jadi guru SD kelas 1 disini, karena selain harus bisa menerangkan dengan pendekatan yang sangat baik ke anak-anak, juga harus bisa menggambar dan memainkan piano dengan baik.  Entah kemampuan apa lagi yang harus dimiliki.  Pantas saja waktu teman saya curhat susahnya mendaftar jadi guru SMA, kemudian saya jawab sambil guyon, "jadi guru SD aja", dia dengan serius langsung menjawab "saya tidak sanggup, itu jauh lebih sulit lagi..."

Thursday, 13 March 2014

Katei houmon

Bulan Maret adalah akhir dari tahun akademik di Jepang.  Untuk tahun ini, bukan hanya bermakna sebentar lagi libur sekolah, tapi pertanda tidak lama lagi saya dan pasukan akan pulkam setelah tiga tahun di Nagasaki.  Jadi teringat, berbagai pengalaman memasukkan anak ke SD disini.  Ada beberapa program yang menurut saya baik, yang secara konsisten dilaksanakan oleh sekolah.  Diantaranya adalah 'katei houmon'.

Secara bahasa, 'katei houmon' kira-kira berarti kunjungan ke rumah.  Istilah ini saya dapatkan dari suatu program kunjungan seorang guru/wali kelas sekolah di Jepang ke setiap rumah anak muridnya untuk bertemu orang tua mereka.  Ada lagi istilah 'jugyou sankan' yang merupakan kebalikan dari katei houmon karena istilah ini berarti orang tua yang datang ke sekolah untuk melihat proses belajar mengajar di kelas.

Saya akan sharing pengalaman mengenai 'katei houmon' untuk anak pertama saya di kelas 1 SD.  Insya Allah di tulisan berikutnya saya akan berbagi tentang 'jugyou sankan'.   Di awal masuk program kelas 1 SD (bulan April) ada edaran dari sekolah yang meminta jadwal orang tua untuk kunjungan guru ke rumah.  Karena di hari kerja, ada himbauan kedua orang tua dapat meluangkan waktunya untuk menerima kunjungan guru.  Dari cerita yang pernah saya dengar, guru tersebut juga tidak masalah bila hanya diterima di teras tanpa perlu masuk ke dalam rumah seperti seorang tamu yang formal.  Orang Jepang sangat menjaga privasi, begitu informasi yang saya dengar.

Di hari dan jam yang saya usulkan, datanglah ibu guru/wali kelas anak saya ke rumah. Seperti biasa bila berhadapan dengan orang Jepang, amunisi telah saya siapkan. Kamus elektronik!!! maklum bahasa Jepang saya dan istri cuma bisa buat nawar barang di recycle shop. Sebagaimana informasi yang saya dengar, si ibu guru tersebut, setelah bilang terima kasih kepada saya sudah meluangkan waktu, langsung mengatakan pertemuan ini hanya membutuhkan waktu maksimal 10 menit sehingga tidak masalah ngobrolnya di depan pintu saja...

Saya masih agak tidak biasa menerima tamu di teras tanpa mempersilahkan masuk. Apalagi ini seorang guru dan yang akan dibicarakan terkait dengan pendidikan anak.  Karena itu tetap saja beliau saya persilahkan masuk dan siapkan teh di meja (tentu sambil lesehan di tatami), saya bisa mendapat penjelasan yang agak lengkap tentang maksud dan tujuan katei houmon ini.

Pendidikan bukan hanya tanggung jawab guru di sekolah, tapi ini merupakan tugas utama orang tua.  Karena itu dibutuhkan kerjasama antara orang tua dan guru demi perkembangan anak.  Dibutuhkan informasi dari orang tua mengenai kebiasaan, kesukaan, kebutuhan khusus anak (bila ada), pantangan tertentu, dsb yang terkait dengan kebutuhannya selama di sekolah yang dimulai dari pukul 08.10-14.40.  Saat itu saya menyampaikan terutama perlunya kesabaran ekstra bagi Ibu guru karena keterbatasan bahasa Jepang anak saya dan ketidakbolehan adanya ingredient haram dalam menu makan siang.

Ada hal yang membuat saya jadi malu, si ibu guru mengatakan bahwa dia siap bila sewaktu-waktu di complain bila ternyata dia tidak bisa mendidik dengan benar. Ada buku komunikasi yang bisa menjadi jembatan antara guru dan orang tua, atau bisa datang langsung ke sekolah bila diperlukan. Tidak terasa, rari rencana pertemuan yang maksimal hanya 10 menit, menjadi obrolan hampir setengah jam. Dan saya mempunyai kesan yang baik terhadap program ini.

Friday, 7 March 2014

Uniknya proses melahirkan di Jepang

Anak ketiga saya, Aisyah Hannani Harjanto lahir di Nagasaki tanggal 20 Desember 2013.  Seperti anak pertama dan kedua, saya mendampingi proses melahirkan mulai dari mengantar istri kontrol hingga menyaksikan persalinan.  Perbedaan di bidang pelayanan dan biaya melahirkan antara Jepang dan Indonesia tidak perlulah dibahas panjang lebar.  Seperti layanan fasilitas umum lainnya, harus diakui kita memang masih kurang maksimal dalam hal memberikan pelayanan kepada konsumen, apalagi kalau dikaitkan dengan dukungan finansial dari pemerintah seperti yang telah saya tulis disini sebelumnya.

Ada beberapa keunikan yang tidak saya temui di Indonesia.  Setelah dokter menyatakan positif hamil, istri saya diharuskan melapor ke city hall (kalau di Indonesia mungkin kantor walikota ya) .  Mereka seperti ingin memastikan kondisi ibu dan anak yang dikandung tetap terjaga.  Si ibu diberikan kupon untuk pemeriksaan rutin di dokter yang dengan kupon itu bayarnya jadi jauh lebih murah.  

Untuk mencegah terjadinya ada ibu hamil yang berdiri di bus/kereta, diberikan semacam badge/tanda yang jelas dapat terlihat dan terbaca orang bahwa orang itu sedang hamil sehingga mendapat prioritas untuk duduk.  Kepekaan penumpang disini bolehlah dicontoh.  Pernah suatu kali istri saya naik bus yang penuh, dan harus berdiri di tengah.  Tiba-tiba ada seorang Bapak yang menegur dengan keras pemuda disebelah istri saya yang sedang duduk agar segera berdiri dan memberikan tempat duduk.  Dengan perasaan malu, pemuda tersebut berdiri sambil berulang kali minta maaf kepada istri saya.

Setelah melahirkan, ibu dan anaknya harus tinggal di rumah sakit minimal 5 hari untuk persalinan normal dan 9 hari untuk persalinan cesar.  Selama tinggal disana dibuatlah program-program untuk ibu merawat bayinya, karena umumnya tidak ada yang punya asisten rumah tangga atau baby sitter disini.  Program yang melibatkan saya adalah memandikan bayi.  Jadi, sebagai bapaknya saya diharuskan menyaksikan dan membantu istri saya memandikan bayi. Hmmm...sejujurnya ini tidak pernah terjadi sebelumnya.

Hal yang paling menarik buat saya adalah saat sedang mengisi formulir yang berkaitan dengan data diri, agak terkejut juga tidak ada kolom 'suami', yang ada adalah 'kepala keluarga'.  Ternyata, kolom itu tidak harus diisi dengan nama suami, bisa nama ayahnya, ibunya, temannya atau siapaun selain dirinya.  Pantas saja ketika beberapa kali istri saya harus periksa rutin ke rumah sakit sendiri, karena kesibukan saya di kampus, perawat maupun dokternya dengan hati-hati bertanya, 'nanti kalau melahirkan apa ada orang yang akan mengantar ke rumah sakit?'  Tentu saja istri saya langsung menjawab, 'iya, suami saya akan mengantar'.  Mereka dengan spontan langsung berkata, 'oooo, ada suaminya ya yokatta ne'.....Tinggal istri saya yang bengong...

*yokatta ne..istilah yang kira-kira merujuk ke arti, aahh leganya, atau ooo untunglah...

Wednesday, 5 March 2014

Banyak anak banyak subsidi

Ada kebiasaan di lab yang hampir tiap hari dilakukan bersama, yaitu makan siang bersama dan nge-teh bareng di sekitar jam 3-4 siang.  Selalu ada saja yang dibicarakan, mulai dari yang serius sampai yang cuma buat guyonan.  Karena kemampuan bahasa Jepang yang sangat-sangat mepet, kalau ada yang ingin diceritakan atau minta pendapat saya mereka harus menjelaskan pelan-pelan, mirip ngobrol dengan anak-anak.

Kemarin ada satu topik menarik yang dibicarakan yaitu tentang trend dan dilema wanita Jepang antara memilih karir atau berumah tangga.  Jadi ingat beberapa waktu lalu detik.com menurunkan berita tentang menurunnya angka lahir bayi dan merebaknya sindrom bujangan di Jepang.  Saat ini saya mendengar langsung dari teman-teman mahasiswa Jepang yang belum menikah dan sensei saya (seorang Associate Professor wanita) yang telah menikah dan mempunyai satu anak berusia 5 tahun.

Ada kesamaan dengan berita yang ditulis detik.com bahwa telah ada upaya dari pemerintah Jepang untuk mengurangi sindrom bujangan dan meningkat angka kelahiran anak, karena kekuatiran menurunnya populasi penduduk.  Pemerintah memberikan subsidi kepada keluarga yang melahirkan berupa pemberian bantuan persalinan yang besarnya 420,000 yen (Rp 42 juta kalau 1 yen = Rp 100,-).  Begitu anak itu lahir, setiap bulan akan mendapat 'uang saku' antara 10,000-15,000 yen tergantung jumlah anak.  Ketiadaan pembantu rumah tangga diatasi pemerintah dengan mendirikan day care dengan menyediakan subsidi bagi yang tidak mampu. Belum lagi fasilitas lainnya seperti kesehatan dan jaminan pendidikan hingga setingkat SMP.  Luar biasanya, pemberian fasilitas ini tidak membedakan apakah dia orang asing atau orang Jepang.

Apakah ini cukup efektif? Mungkin ini hanya efektif untuk mahasiswa asing seperti saya he he he.  Karena dengan kelahiran anak ketiga bulan Desember berarti bertambah subsidi untuk keluarga saya.  Sampai-sampai di kalangan mahasiswa asing disini ada ungkapan, banyak anak banyak subsidi.  Tetapi untuk keseluruhan penduduk Jepang, menurut salah seorang Professor yang lain sepertinya belum berhasil. Parameternya adalah jumlah anak SD saat ini jauh lebih sedikit dibandingkan jaman dia sekolah. Apalagi ada media yang pernah menulis bahwa tahun 2012 penjualan popok dewasa lebih besar daripada popok bayi.

Hal yang tidak ditulis oleh detik.com adalah ternyata meskipun pemerintah Jepang mendorong peningkatan angka kelahiran, faktanya mereka juga mendorong para wanita untuk terus bekerja meningkatkan karirnya.  Sensei saya bercerita bahwa sulit sekali baginya untuk mengajukan cuti melahirkan, dengan adanya tuntutan untuk segera menjadi Professor penuh. Bila dia cuti, tidak ada yang bisa menggantikan karena masing-masing Professor memiliki bidang keahlian yang berbeda. Entah dengan alasan apa, dua orang sensei perempuan lain di fakultas ini malah belum menikah.

Beberapa teman satu lab yang perempuan juga mengatakan tidak ingin terburu-buru menikah, bahkan ada yang belum terlintas sedikit pun tentang pernikahan atau keluarga.  Ada kecenderungan kalau yang cepat menikah itu yang pendidikannya rendah dan pergaulannya kurang, sedangkan wanita pintar dan aktif akan lebih memilih menunda.  Begitu kata mereka.  Bahkan ada yang mengatakan bahwa menikah, punya anak dan suami/istri merupakan gangguan dalam menikmati masa muda yang indah, yang penuh kebebasan.

Begitulah salah satu problem sosial, diantara berbagai problem lain, yang mungkin tidak hanya terjadi di Jepang tapi juga di negara maju lainnya.  Mereka bisa saja dikagumi karena maju secara teknologi, tetapi sesungguhnya mengalami kekosongan hati.   Berbagai persoalan hidup siap menanti ketika tidak ada aturan Ilahi yang ditaati.  Sungguh beruntung kita yang masih memiliki keimanan di hati, segalanya dilakukan hanya untuk mengabdi kepada Zat Yang Maha Pemberi.

Friday, 14 February 2014

Menghindari perbuatan 'allergen'

Allergen adalah zat yang menjadi pemicu timbulnya alergi dan terdapat di banyak bahan makanan.  Allergen dapat menimbulkan alergi terhadap orang yang sensitif terhadap makanan tersebut.   Secara garis besar, mekanisme terjadinya alergi terdiri dari dua tahap.   Orang yang alergi terhadap udang, ketika pertama kali mengkonsumsi udang tidak langsung timbul gejala alergi. Alergen pertama dari udang yang masuk akan direspon tubuhnya dengan membentuk antibodi. Ikatan antara allergen dan antibodi tersebut akan menempel pada sel mast. Setelah reaksi ini, gejala alergi belum terjadi, tetapi tubuh telah ‘sensitif’. 

Bila untuk kedua kalinya tubuh yang sudah sensitif ini mengkonsumsi kembali udang, antibodi pada permukaan sel mast tadi akan bereaksi dengan allergen kedua ini menghasilkan senyawa kimia yang bersifat racun.  Setelah ini barulah gejala alergi timbul, mulai yang ‘ringan’ seperti gatal-gatal hingga kesulitan bernapas yang dapat berujung kematian.  Sejauh ini sepertinya belum ada obat yang dapat menghilangkan alergi, yang ada hanyalah mengobati gejala yang timbul.  Oleh karena itu cara paling efektif bagi penderita alergi adalah dengan menjauhi/tidak mendekati makanan dan bahan-bahan lain yang telah diketahui menyebabkan alergi pada dirinya.

Bila dicermati, ternyata ada perbuatan yang menurut saya punya kemiripan dengan sifat ‘alergen’ ini.  Perbuatan tersebut masih dapat ditoleransi ketika baru pertama kali dilakukan tanpa sengaja.  Setelah itu kita dilarang melakukan perbuatan yang sama.  Contohnya adalah melihat aurat yang tidak halal.  Kita diajarkan bahwa pandangan pertama masih bisa ditoleransi sepanjang segera berpaling dan tidak dinikmati. 

Seperti reaksi allergen, pandangan tidak sengaja tersebut sejatinya akan menyebabkan tubuh kita ‘sensitif’.  Sangat wajar bila pandangan kedua sangat dilarang karena bisa meracuni tubuh yang telah sensitif ini, yang berpotensi meracuni seseorang.  Berapa banyak kasus-kasus pelecehan dan perzinahan yang diawali dari memandang atau menonton hal-hal yang tidak seharusnya dilihat.

Sebagaimana alergi makanan, cara paling efektif menghindari ‘perbuatan allergen’ ini adalah dengan tidak mendekatinya.  Tentu saja bukan hal yang mudah untuk melakukannya apalagi ditengah lingkungan yang tidak menjadikan batasan aurat sebagai bagian syariat dan berbagai fasilitas akses di dunia maya yang digunakan tanpa batas.  Tidak peduli apakah seseorang merasa sudah mencapai level iman yang tinggi atau sudah merasa berilmu tinggi, tetap saja diperintahkan untuk menundukkan pandangan dan tidak mendekati zina. Tubuh kita memang sangat mudah sensitif sebagaimana tubuh yang telah terkena allergen.

Tuesday, 7 January 2014

Perhatikan dirimu!!!

Memperhatikan lingkungan sekitar jelas sangat diperlukan ketika akan melakukan suatu tindakan yang berpotensi menimbulkan pengaruh.  Tetapi, kita juga tetap perlu memperhatikan kondisi diri kita sebelum melakukukan tindakan tersebut.  Cerita yang saya ambil dari suatu postingan di jagat twitland berikut ini contohnya.

Di kafe starbu*k seorang wanita berparas cantik duduk dengan gelisah. Kali ini ia sulit sekali menahan untuk tidak buang angin (k*ntut). Seketika wanita itu mendapat ide brilian!!! Ia akan mengeluarkannya bersamaan dengan suara musik saat penyanyinya berteriak agar suaranya tersamar. 

Maka terjadilah. 

Akibat cukup lama menahan, ia mengeluarkannya hingga berkali2, sambil sesekali kepalanya bergoyang mengikuti hentakan musik yang keras. Setelah selesai, ia menarik napas panjang... huaahhh, akhirnya. legaaa...

Eeh tapi sebentar, ada yang aneh!!! Kenapa sekarang semua mata memandang ke arahnya dengan tatapan yang tidak biasa??? Sedetik kemudian dia baru sadar kalau ternyata dari tadi dia mendengarkan musik melalui earphone...