Suatu malam di hari kedua tahun baru 2013. Seperti biasa, tempat terbaik adalah tetap di laboratorium (lab), bukan karena hobi eksperimen tapi salah satu strategi penghematan biaya listrik, air, dan gas, apalagi di musim dingin yang semakin menggigit. Strategi ini juga memungkinkan tidak perlu menggunakan smartphone atau koneksi internet di apato (apartment) karena wifi sangat kencang di kampus. Tidak disangsikan lagi, lab adalah tempat tinggal terfavorit, sudah ada ijin dari Sensei buat mahasiswa bahkan bila setiap hari ingin menginap. Hari ini masih suasana libur tahun baru, salah satu momen sakral buat masyarakat Jepang, sehingga liburnya tidak cukup hanya tanggal 1 Januari.
Malam ini, seperti juga malam-malam sebelumnya, chatting, free call, free video call via YM, atau skype (tergantung kekuatan jaringan di Bogor) dilakukan bukan hanya untuk melepas rindu, tapi juga menguatkan hati. Di seberang sana, kali ini dirimu memberi kabar baik dan kabar kurang baik. Kabar baiknya, anak-anak dalam keadaan sehat dan tetap kangen abinya. Alhamdulillah. Kabar kurang baiknya, tidak ada ijin dari atasan untuk kembali lagi ke Nagasaki. Alasannya cukup jelas dan masuk akal, "bagaimana kamu dan anak-anak akan hidup di sana, sementara suamimu tidak punya beasiswa? membiayai dirinya sendiri saja belum tentu bisa apalagi kalau ditambah keluarga?" demikian ucap atasanmu.
Meskipun tidak terlihat, aku tahu ada air mata yang tidak terbendung. Hari-hari terakhir ini perasaan putus asa memang sudah ada diambang pintu. Seorang teman mengatakan, istilah dalam bahasa Jepangnya 'yaruki ga arimasen' atau 'yaruki ga nai'. Kalau orang Jepang sudah mengucapkan kalimat itu, berarti menunjukkan dia sudah tidak ada motivasi atau semangat lagi. Kata-kata itu sudah sempat diucapkan ke Sensei, hingga beliau sangat terkejut. Bagaimana lagi, saat dirimu selesai Master akhir September 2012, itu berarti tidak ada lagi sumber beasiswa. Tapi keputusan sudah dibuat, sekolah harus tetap dilanjutkan mesku saat ini belum ada
financial support, sementara dirimu dan anak-anak pulang ke Indonesia.
Usaha bukannya tidak dilakukan. Entah sudah berapa kali aplikasi beasiswa dan lamaran kerja
part time diajukan, tapi tidak ada yang diterima. "Wajar aja, dengan kemampuan akademik yang pas-pasan, bahasa Inggris gak karuan dan kemampuan bahasa Jepang awut-awutan, mana mungkin bisa dapat beasiswa atau part time di sini?" pikiran itu selalu saja menghantui. Hampir semua orang yang mengetahui berkata, "nekat amat sih tetep keukeuh ngambil S2 dengan kondisi kayak begitu".
Tetapi kata-kata dari dirimu ini telah membuat motivasi terus tegak, meski tidak bisa dikatakan kuat.
"Apapun yang akan terjadi, ummi dan anak-anak akan tetap datang ke Nagasaki sebelum Maret. Dulu Abi sudah memenuhi janji membawa anak-anak ke Nagasaki, sekarang Ummi akan menetapi janji membawa mereka sebelum berpisah dengan Abi-nya lebih dari 5 bulan." dirimu berkata sambil agak terisak.
"Lalu bagaimana dengan hidup di sini? bayaran kuliah sekitar Rp 30 juta per semester, biaya hidup sekeluarga yang paling minimal Rp 12 juta per bulan" akupun mulai sangsi.
"Bukan Abi yang ngasih rejeki ke ummi dan anak-anak. Setiap orang akan diberikan dan sudah punya rejeki masing-masing. Buat apa kuatir? Kita masih punya Allah. Menuntut ilmu kan ibadah, buat apa kuatir? Kalau memang Allah mentakdirkan abi tidak bisa selesai S2, kita pulang sama-sama dari Nagasaki. Tidak perlu malu, sampai kapanpun ummi dan anak-anak akan tetap bangga sama abi. Kalau orang kantor gak ijinin, ya udah ummi aka ambil cuti diluar tanggungan negara aja. Buat apa kuatir? Ummi bisa bantu abi dengan ikut kerja part time disana, jadi apapun termasuk jadi cleaning service seperti yang pernah dilakukan teman dari Kenya" kata-kata itu keluar bersamaan dengan air mata.
Iya, buat apa kuatir. Allah tidak akan pernah memberikan beban diluar kesanggupan manusia. Artinya, cobaan saat ini masih dalam batas kemampuan, jangan terus-terusan mengeluh dan malas berusaha, apalagi putus asa berdoa. Teorinya sih begitu. Tapi tetap saja, rasa kuatir kadang-kadang berhasil menjebol pertahanan.
Hari itu pun tiba. Tanggal 16 Feb 2013, dirimu dan anak-anak mendarat di Kansai International Airport, Osaka. Sengaja bukan di Fukuoka atau langsung ke Nagasaki. "Bukan untuk pemborosan. Kebetulan dapat tiket promo Malaysia Airlines dari Jakarta, yang kalau ditotal tetap lebih murah turun dan menginap di Osaka, ditambah liburan sama-sama ke Universal Studio"
Hari itu, dirimu menetapi janji untuk membawa anak-anak tidak berpisah lebih dari 5 bulan dengan abinya. Rasa rindu tidak bertemu dua bidadari kecil langsung terobati begitu mereka berebutan memeluk dengan erat. Tetapi, persoalan dan tantangan besar telah menanti. Bagaimana nanti kelanjutan hidup kita di sini? "Ya Allah, jangan biarkan istri dan anak-anak kelaparan" bisikku dalam doa. "Ya Allah, jangan biarkan kami terjerat hutang" begitu salah satu isi doamu.
Bukti kekuasaan Allah secara perlahan benar-benar hadir menyapa kami sekeluarga. Sebelum sampai di Nagasaki, seorang petugas di supermarket besar mengabarkan kalau aku diterima kerja part time dan bisa mulai kerja tanggal 18 Feb. Subhanallah, meskipun tetap tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan hidup, tetapi bisa menggantikan kerja part time di perusahaan ekspedisi yang tidak menentu saat ini. Alhamdulillah. Setelah dihitung penghasilan yang akan didapat, kira-kira itu hanya cukup untuk biaya makan sekeluarga.
"Allah langsung mengabulkan doaku untuk tidak membiarkan ummi dan anak-anak kelaparan" secercah harapan dan rasa optimis mulai timbul. Bukankan Allah berjanji akan bersama orang-orang menjadikan sabar dan shalat sebagai penolong?
Ketika dirimu mengatakan ingin program punya anak, perasaan kuatir langsung menggoda dengan sangat kuat. Dengan anak yang ada sekarang saja, kita masih kesulitan bagaimana kalau menambah anak?
Tetapi kekuatiran itu berubah menjadi keyakinan ketika keesokannya Sensei menawarkan dirimu untuk kerja part time di lab membantu penelitiannya. Tentu saja ini adalah kerja part time terbaik untuk seorang lulusan S2 Jepang daripada menjadi cleaning service atau kerja di supermarket atau yang lainnya. "Yakin saja bahwa setiap anak punya rejeki dari Yang Maha Pemberi" dirimu selalu menguatkan untuk mengurangi kekuatiran.
Ketika beberapa waktu kemudian dirimu mengatakan dari hasil tes urine sepertinya telah positif mengandung anak yang ketiga, perasaan senang tumpah ruah di apartmen kami. Anak-anak sudah heboh menyambut adik baru. Tapi, di Jepang yang berhak mengatakan positif hamil adalah seorang dokter, sehingga harus dilakukan pemeriksaan ke rumah sakit. Bila benar positif, harus mendaftarkan kehamilannya ke kantor walikota dan harus melakukan pemeriksaan rutin di rumah sakit. Sudah terbayang biaya yang harus dikeluarkan untuk periksa rutin dan informasi bahwa biaya melahirkan sekitar Rp 50 juta. hmmm......
Seperti tidak ingin membiarkan rasa kuatir ini kembali muncul, keesokan harinya petugas dari international student center mengabarkan bahwa aku berhasil mendapat beasiswa Hashiya untuk biaya hidup. Sujud syukur. Ini adalah kesempatan terakhir karena setelah ini tidak mungkin lagi mengajukan beasiswa. Sekali lagi Allah menunjukkan bahwa kekuasaan-Nya tidak terbatas.
Kemudian, saat dokter mengatakan bahwa dirimu benar positif mengandung anak ketiga, Allah kembali menghamparkan rejeki-Nya. Teman-teman di lab memberikan ucapan selamat via grup di Line bahwa semester tiga ini aku bebas biaya SPP. Demikian pula ketika Aisyah lahir tanggal 20 Desember, selain ucapan selamat atas kelahiran putri ketiga kami, teman-teman memberikan kabar yang sama bahwa semester empat aku juga bebas biaya SPP. Doa-doa yang keluar dari lisan dirimu terkabul. Allah memberikan kesempatan kepadaku untuk menyelesaikan S2 tanpa harus berhutang.
Detail perjalanan hidup itu masih membekas. Semua menjadi lebih mudah ketika dirimu ada disampingku. Kebahagiaan menyapa saat kita yakin kepada Yang Maha Kuasa. Keyakinan takkan terusik bila kita mendekat kepada Sang Khalik.
Hari ini, 29 Juli 2014, tepat sembilan tahun akad terucap di hadapan orang tuamu. Semoga dirimu akan selalu menjadi rembulan di langit hatiku.
Rembulan di langit hatiku
menyalalah engkau selalu
temani kemana meskiku pergi menempuh tempat kita tuju
Doakanlah ku di shalat malammu
pelita perjalananku
Doakanlah ku di shalat malammu
rembulan di langit hatiku
(seismic)